Wisnu Salman

Oleh Ir. Wisnu Salman. Alumnus ITB/Konsultan Pertambangan/CEO Geo Mining Berkah

Tiga calon presiden Indonesia 2024 — Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan — dalam kampanyenya mengusung kebijakan ekonomi hijau. Ini menarik, karena ternyata tiga capres tersebut, peduli dengan masa depan bumi yang kini terancam global warming. Salut!

Tapi, mungkinkah kebijakan ekonomi hijau bisa diterapkan di Indonesia secara konsisten? Jawabnya, tidak mudah. Karena kebijakan ekonomi hijau terbentur kebutuhan energi nasional yang makin lama makin tinggi. Persoalannya, kebutuhan energi yang tinggi tersebut, salah satunya berasal dari sumber energi murah: batu bara.

United Nations on Environment Programme (UNEP) mendefinisikan konsep ekonomi hijau sebagai paradigma ekonomi yang rendah karbon, efisien secara sumber daya, dan inklusif secara sosial. Tujuan dari konsep ini diantaranya adalah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang terus berkembang, inklusif dan adil; terciptanya ketahanan sosial, ekonomi dan lingkungan; munculnya ekosistem penyedia jasa yang sehat dan produktif; serta terjadinya pengurangan emisi gas rumah kaca.

Pemerintah menuangkan konsep ekonomi hijau dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Dalam RPJMN tersebut dijelaskan perubahan iklim telah menjadi salah satu isu yang memiliki urgensi tersendiri. Oleh karena itu, setiap arah pembangunan Indonesia dalam RPJMN didorong untuk mengedepankan setiap aspek lingkungan, terutama dengan mengutamakan pembangunan rendah karbon. Dalam hal pembiayaan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan dokumen pengaturan terkait upaya pengembangan keuangan berkelanjutan sebagaimana tertuang dalam Roadmap Keuangan Berkelanjutan (Sustainable Finance Roadmap), 2015-2025.

OJK juga mengeluarkan “taksonomi hijau” — yaitu suatu dokumen yang dibuat untuk pedoman berbagai kementerian dan lembaga dalam memberikan insentif atau disinsentif terhadap suatu sektor. Taksonomi hijau ini disusun secara struktural berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) serta digunakan dalam membantu pelaku sektor jasa keuangan dalam mengklasifikasi aktivitas hijau dalam mengembangkan jasa keuangannya.

Apa yang dilakukan OJK di atas sangat ideal. Tapi faktanya, konsep cemerlang OJK melenceng dari ide semula. OJK (Otoritas Jasa Keuangan), misalnya, tahun 2022 lalu menyusun taksonomi hijau yang ambigu. Ambigu karena dalam dokumen taksonomi hijau itu, batu bara dimasukkan sebagai komoditas aman untuk perubahan iklim. Padahal siapa pun tahu, batu bara adalah sumber polusi karbon dioksida — salah satu komponen gas rumah kaca — yang mengakibatkan global warming.

Masalah batu bara memang dilematis. Ia terkenal sebagai sumber energi murah. Tapi ia pun terkenal sebagai sumber energi polutif, yang menyemprotkan emisi karbon dioksida, sulfur oksida, dan gas polutif lain yang berbahaya. Batu bara seperti halnya minyak bumi, merupakan sumber energi polutif yang menyebabkan kenaikan suhu bumi (global warming).

Anehnya, dokumen tersebut mengklasifikasi batu bara sebagai sumber energi ‘kuning’ atau tidak berbahaya. Jelas ini kontraproduktif terhadap komitmen Indonesia untuk mengakhiri penggunaan batu bara (zero emission) pada tahun 2060, sesuai Konferensi Perubahan Iklim PBB 2021(COP 26).

Sejumlah kalangan mengkritik dokumen taksonomi hijau yang disusun OJK di atas. Ia dianggap tidak sesuai dengan komitmen iklim pemerintah Indonesia. Dalam hal ini, taksonomi hijau tersebut melemahkan komitmen perbaikan iklim global.

Kenapa? Lembaga lingkungan hidup internasional seperti Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dan International Energy Agency (IEA) telah merekomendasikan pelarangan proyek bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak bumi, dan gas di dunia. Proyek tersebut terbukti berdampak besar terhadap kenaikan suhu bumi ( global warming).

Di situlah dilemanya. Indonesia adalah salah satu negara penghasil batu bara terbesar di dunia. Mau diapakan batu bara Indonesia jika tidak dijual untuk mendulang devisa dan mendukung ekonomi nasional?

Dari gambaran itulah, mungkin kita bisa mengerti kenapa OJK dalam taksonomi hijaunya masih menyantumkan batu bara sebagai sumber energi aman. Padahal semua orang tahu, batu bara adalah sumber energi polutif yang emisi karbonnya menyebabkan kekacauan iklim global.

Pertanyaannya, mungkinkah Presiden Indonesia terpilih tahun 2024 mampu melaksanakan program ekonomi hijau secara konsisten?

Tanyakan kepada rumput yang bergoyang — kata Ebiet G. Ade.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *