ANTHONY HOPKINS

Oleh:  Hamid Basyaib

APAKAH Anda punya alasan untuk tidak kagum pada kecemerlangan Anthony Hopkins?

Ia, sebagai Dr. Hannibal Lecter, membuat kita bergidik hanya dengan mendengar suaranya memanggil nama seseorang; atau melihatnya mendecakkan lidahnya. Sebagai narapidana, ia dihadirkan di depan seorang senator perempuan yang anak gadisnya disekap oleh seorang psikopat, sebab penculik itu bekas pasien Dr. Lecter, seorang psikiater yang juga psikopat kanibal. Ia sanggup menggigit lidah orang sampai putus dengan sergapan tak terduga.

Benda apapun bisa dijadikan senjata oleh jenius ganjil itu. Maka kepala penjara yang mengantar agen FBI Clarice Sterling, sambil mereka berjalan bersama menuju sel bawah tanah Lecter, berpesan: “Ambil jarak dengan dia paling sedikit satu meter. Dan jangan beri dia apapun, bahkan kertas tisu.”

Maka, ketika dihadirkan di hadapan si senator, dalam “The Silence of the Lamb”, kita ternganga menyaksikan pemandangan itu: Dr. Lecter muncul dengan didorong dengan tubuh tegak di atas papan lori, dengan kaki-tangan dan seluruh badan terikat rantai, dan mulut ditutup pembungkus moncong anjing. Kita hanya menyaksikan matanya yang melotot di balik pembungkus seperti topeng itu — dengan bagian mulutnya diberi rongga yang ditutupi jeruji besi kecil. Dengan itu ia tak mungkin bisa menggigit siapapun

Tapi ia membuat kita iba dan bersimpati ketika ia, sebagai James Stevens, bujang tua dan kepala rumah tangga Lord Darlington yang loyal total pada majikannya, tak berani jujur pada perasaannya sendiri terhadap bawahannya, Miss Kenton. Kenton, gadis yang dikejar usia di Inggris tahun 1940an, sampai nyaris terang-terangan membukakan pintu hatinya bagi butler kaku yang cermat dan sangat berdisiplin itu — tapi ia pernah tersipu malu saat kedapatan membaca antologi puisi cinta di kamarnya.

Kenton akhirnya menyimpulkan: ia tak mungkin mengharap Stevens menjadi lelaki normal yang sudi menyampaikan hasrat hati manusiawinya yang terdalam. Ia keluar dari pekerjaan di Darlington Hall, dan menikah di kampungnya.

Duapuluhan tahun kemudian, Stevens akhirnya membulatkan hati dan berniat melamar mantan bawahannya. Ia mengambil keputusan besar itu setelah membaca surat Kenton, yang menceritakan bahwa ia sudah bercerai dari suaminya. Beberapa bulan sesudah menerima surat yang sangat personal itu, Stevens menemui Kenton di tengah kota London, setelah menyiapkan segala sesuatu, terutama menata hatinya dengan cermat.

Keduanya duduk di meja kafe yang nyaman, dan Kenton bercerita dengan mata berbinar bahwa ia baru saja mendapat seorang cucu dari anak perempuannya. Dan ia juga belum lama rujuk dengan mantan suaminya. Kenton, katanya, tak tega melihat bekas suaminya yang hidup berantakan setelah bercerai.

Dan kita tak pernah lupa dengan cara Stevens menanggapi dinamit yang meledak di jantungnya itu. Ia tak bicara apa-apa. Ia menoleh ke kanan-kiri dengan cepat, seperti mencari-cari pelayan, dengan gerak tubuh dan jari tak menentu, terkadang jari itu mampir sejenak di mulutnya. Betapa inovatif temuan Hopkins dalam memainkan adegan itu. “The Remains of the Day”, diangkat dari novel Kazuo Ishiguro, dengan skenario hebat yang dikerjakan Ruth Prawer Jhabvala, akan terus menjadi drama yang memikat siapa saja.

Lalu ia menjadi orang Spanyol, Pablo Picasso, pionir lukisan aliran kubisme, salah satu perupa terbesar dalam sejarah seni rupa. Ia membaca semua biografi dan kisah Picasso untuk menangkap jiwa seniman yang gemar bercelana pendek dan bertelanjang dada — tentu saja ia paham bahwa berakting terutama adalah menyelami alam pikiran karakter, dan ekspresi fisikal hanyalah manifestasi dari alam pikiran itu.

Picasso mashur sebagai pria yang suka meleceh dan memperlakukan dengan buruk para perempuan pengagum kejeniusannya. Setelah cukup membaca semua bahan, Hopkins menyimpulkan: “Saya rasa Picasso adalah salah satu manusia paling memuakkan di dunia ini.” Dan ia memainkan karakter itu, seperi biasa, dengan gemilang. Ia menjelma seorang pelukis besar, lengkap dengan cara dan gaya melukisnya — ia bukan pura-pura menjadi Picasso.

Dan ia — psikopat keji, pelayan dedikatif dan pelukis brengsek — kemudian menjelma Paus Ratzinger, pemimpin Katolik yang kontroversial dan mengundurkan diri (digantikan oleh Paus Francis, yang dimainkan dengan sama gemilangnya oleh Jonathan Pryce, dalam “The Two Popes”).

Lalu ia memeras perasaan kita sebagai seorang duda tua, ayah dari dua anak perempuan yang digerogoti alzheimer dengan ganas, dalam “The Father”. Ia mencicil ironi dan keganjilan-keganjilan halus, bahkan terkadang kekonyolan yang menggelikan, membuat kita tak menyadari apa yang sesungguhnya terjadi pada dirinya. Di akhir pertunjukan (film ini diangkat dari sebuah drama panggung Prancis), seluruh cicilan ironi itu seakan menyatu dan tiba-tiba menusuk-nusuk emosi kita tanpa ampun.

Semuanya sangat meyakinkan. Ia mengeluarkan jiwanya dari dirinya sendiri, lalu mengisinya dengan jiwa para karakter. Ia berakting dengan seluruh indra yang tersedia dalam dirinya — termasuk gestur jari, tatapan mata dan gerak bibirnya. Ia gilang gemilang. Ia bagai penubuhan seluruh tradisi panjang seni drama Inggris sejak Shakespeare.

Sir Philip Anthony Hopkins — yang kabarnya disuguhi daging mentah di sebuah restoran di Los Angeles, karena pelayan mengenalnya sebagai psikiater “Hannibal the Cannibal” — kini 85 tahun. Apa yang ia hayati dari perjalanan panjangnya itu, terutama sebagai manusia? Ia meringkasnya dalam sebuah sketsa mental berikut ini:

“Saya tahu bahwa saya memiliki masa hidup yang lebih sedikit daripada yang sudah saya jalani. Saya merasa seperti seorang anak yang diberi sekotak cokelat. Dia memakannya dengan nikmat, dan ketika melihat bahwa tidak banyak lagi yang tersisa, dia mulai memakannya dengan perasaan yang istimewa.

“Saya tidak punya waktu untuk kuliah yang tak berujung tentang adat istiadat publik — tidak akan ada yang berubah. Saya tak berminat untuk berdebat dengan orang bodoh yang tidak bertindak sesuai dengan usianya. Dan saya tidak punya waktu untuk bertarung melawan kekaburan sikap. Saya tidak mau hadir dalam pertemuan di mana ego-ego menggelembung, dan saya tidak tahan menghadapi manipulator.

“Saya terganggu oleh orang-orang iri yang mencoba mencemarkan reputasi mereka yang paling mampu untuk merebut posisi, bakat, dan prestasi. Waktu saya terlalu sedikit untuk membahas berita media — saya sedang terburu-buru. Terlalu sedikit permen yang tersisa di dalam kotak.

“Saya tertarik pada manusia yang manusiawi. Orang-orang yang mampu tertawa atas kesalahan mereka adalah orang-orang yang sukses, yang memahami panggilan mereka dan tidak bersembunyi dari tanggung jawab.

“Merekalah yang mempertahankan martabat manusia dan ingin berada di pihak kebenaran, keadilan, dan kejujuran. Itulah arti hidup. Saya ingin dikelilingi oleh orang-orang yang tahu cara menyentuh hati orang lain. Mereka yang, melewati pukulan nasib, mampu bangkit dan tetap menjaga kelembutan jiwa.

“Ya, saya berjuang. Saya berjuang untuk hidup dengan intensitas yang hanya dapat diberikan oleh kedewasaan. Saya akan memakan semua sisa permen yang saya miliki — rasanya akan lebih baik daripada yang sudah saya makan.

“Tujuan saya adalah mencapai akhir hidup yang harmonis dengan diri sendiri, dengan orang-orang yang saya cintai, dan dengan nurani saya.

“Semula saya pikir saya punya dua kehidupan, tetapi ternyata hanya satu. Dan itu harus dijalani dengan bermartabat.”

Sir Anthony, sekarang saya tahu mengapa Anda lebih dari sekadar menyusun strategi seni peran; mengapa Anda begitu cemerlang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *