Oleh: Sunardian Wirodono, Penulis Lepas, Tinggal di Yogyakarta
Putri Ariani adalah dahsyat. Gadis sweet-seventeen kelahiran Riau, yang sejak kecil hingga remaja tinggal di Imogiri Mbantul, Yogyakarta itu, adalah fenomena dunia. Ia bukan buzzer-Rp. Ia buzzer kelas golden ketika Simon Cowell, produser dan juri America’s Got Talent (AGT), memberinya golden buzzer pada penampilan pertama di AGT, Juni 2023.
Sebagai buzzer-Gold, pendengung (berkelas) emas, Putri Ariani pantas mendapatkan. Dalam penampilannya kemarin, live-show semifinal AGT, Putri membawakan lagu ‘I Still Haven’t Found What I’m Looking For’.
Dahsyat! Pilihan lagu milik U2 itu, menunjukkan kelas Putri Ariani sebagai pendengung emas dunia. Penampilannya sendiri memukau. Tak lebih dari 4 menit. Dengan iringan grand-piano yang dimainkannya secara minimalis. Tapi Putri dengan indah memamerkan semua potensinya. Warna suaranya seolah gabungan Mariah Carey, Whitney Houston, Beyonce. Bahkan dengan power growl-nya sebagai penggemar musik blues ‘n soul.
Malam di semi final AGT itu, ia mendapat banyak pujian. Empat juri AGT menilai penampilan Putri sempurna. Mereka –juga para penonton langsung di Pasadena, Los Angeles, AS (5/9/23), melakukan standing ovation. Di dunia maya, ia mendapat dukungan warga dunia. Bukan hanya orang awam. Banyak penyanyi, pemusik, produser musik dan guru vocal berbagai negara, sangat mengapresiasi Putri Ariani.
Kita semua tahu hal itu, kecuali yang pura-pura tak tahu. Karena ketika anak Indonesia membanggakan secara international, di negeri Konaha (seperti istilah Anies Baswedan), tetap ada yang menyinyiri. Ini bukan soal pendidikan atau agama, tetapi attitude. Termasuk yang meremehkan Putri Ariani, di mana karirnya disebut lebih karena ini dan itu, bukan karena perjuangan dan kerja kerasnya. Padal di luar talentanya yang besar, Putri seorang pembaca dan pembelajar yang baik. Dan untuk itu ia disiplin berlatih dan berjuang keras.
Pemilihan lagu U2, grup rock dari Irlandia Utara, I Still Haven’t Found What I’m Looking For, sungguh cerdas. Sebagaimana filsafat connectivity and collaboration yang sering dikutip Jokowi, untuk membangun wajah baru geo-politik dunia. Putri Ariani memainkan peranan sama. Sebagai seorang muslimah, bahkan juga pelantun qiraah alquran yang fasih dan merdu, ia membawakan lagu karya Bono. Di Irlandia Utara hingga kini, lagu itu banyak dinyanyikan di gereja-gereja mereka. Kita tunggu nanti, bagaimana setelah Putri memviralkannya.
Lagu U2 ini memang kental warna spiritualnya. Bertema pencarian tuhan, yang meski sudah dilalui dengan jungkir balik –termasuk pengingkaran, tetapi hingga kini, dan sampai entah, belum ketemu juga apa yang dicari. Pesan lagu itu sungguh sangat menampar kesadaran, di tengah formalisme agama-agama dunia, yang justeru menjadi bagian sumber konflik. Kita diajak merenung, sebagai bagian bukti kita belum menemukannya. Menemukan apa? Menemukan tuhan sebagai nilai hakiki. Yang mestinya, termanifestasikan dalam patrap atau laku-jantra manusia, dengan kasih-sayang dan kemanusiaannya.
Bono, Paul David Hewson (63), bukan sekedar penyanyi atau seniman musik. Ayahnya Katolik Roma, Ibunya Protestan. Bono sendiri? Ia merasa seolah ada di pagar. Mungkin maksudnya in-beetween, di antara. Dan kita, generasi X, Y, Z, berada dalam kegelisahan yang sama. “I believe in the Kingdom Come, Then all the colors will bleed into one,…” demikian Bono dalam lagunya itu. Menjadi satu bukan dalam pengertian Islam semua, atau Katolik semua, Buddha semua. Tapi menjadi sebagai satu keturunan, manusia, sama. Bersaudara. Perbedaan adalah cara.
Bono adalah juga seorang aktivis, politik dan sosial. Seorang filantropis pula. Ia termasuk aktivis dalam gerakan ‘penghapusan utang dunia ke-3’. Pernah mengajak Menteri Keuangan AS, Paul O’Neill keliling tur di Afrika pada Mei 2002. Karakter Bono, saya kira menjadi dasar pikiran Putri. Putri seorang pembaca dan pembelajar yang baik. Bagi saya, tak ada yang perlu diragukan keseriusannya. Tak ada masalah dengan kenyataan ia tuna-netra. Ia tidak tuna hati dan cinta untuk kehidupan yang lebih baik.
Terciptanya lagu U2 itu memang unik. Lahir secara spontan. Lagu ini berasal dari demo-reels, awalnya berjudul “The Weather Girls” dan “Under the Weather”. Direkam selama sesi jam session. I Still Haven’t Found What I’m Looking For terinspirasi dan terpengaruh musik gospel.
“Musik yang benar-benar membuat saya bersemangat adalah berlari menuju Tuhan atau menjauh dari Tuhan,” kata vokalis U2, Bono, kepada Rolling Stone Magazine. Bono sendiri mengijinkan lagunya dinyanyikan oleh Putri Ariani, dan ia melihat langsung audisinya.
Lagu I Still Haven’t Found What I’m Looking For merupakan track kedua dari album The Joshua Tree (1987). Menjadi lagu terbaik kedua band rock dari Irlandia versi Rolling Stone. Bahkan, ini single kedua U2 yang memuncaki Billboard Hot 100 AS, berturut-turut dan memuncaki di nomor enam UK Singles Chart. Mendapat dua nominasi Grammy Awards kategori Record of the Year dan Song of the Year. Lagu U2 ke-9 yang paling banyak dimainkan secara live. Bahkan termasuk di beberapa gereja di Irlandia Utara menjadi semacam lagu wajib.
Namun, seperti biasa, lagu ini menjadi ‘beda’ di tangan Putri. Narasinya menjadi lebih kuat. Pemilihan lagu itu, sebuah pesan damai yang penting pada dunia. Putri ingin melampaui berbagai barrier, yang dulu sebelum fase golden-buzzer kerap diterimanya. Putri adalah seorang qiroah yang baik. Berhijab. Bisa membaca kitab suci agamanya, dan tahu maknanya. Namun senyampang itu, ia bisa menyatu dan menyanyikan lagu U2 dengan warna gospel yang kental. Dan dia mampu. Pada kaum formalis, apa yang dilakukannya bisa mendatangkan hujatan.
Padal, tema lagu itu penting untuk saat ini; Sebetulnya apa yang kita cari, di tengah silang-sengkarut dunia yang centang-perenang ini? Belum lama lalu, Menteri Agama memberi pesan yang ‘politis’ mengenai bagaimana harusnya memilih pemimpin yang tidak memainkan isu agama atau identitas. Sementara Habib Novel masih menunggu komando Habib Rizieq, mau mendukung siapa.
Anies Baswedan masih menjadi harapan kelompok sektarian ini, untuk bisa mencari cawapres yang sesuai aspirasi mereka. Sementara Surya Paloh sudah teriak-teriak; ‘Selamat tinggal politik cebong dan kampret’. Tapi kelupaaan say good bye pada politik kadrun. Meski pun dalam deklarasi Anies-Cak Imin, sekejap Surya Paloh bisa langsung meng-NU-kan Anies Baswedan.
Di situ, Putri Ariani menjadi penting, bagi mereka yang mau berendah hati dan terbuka.