Penulis: Jamaluddin Mohammad, Rumah Kitab
Cerita Mbak Alissa Wahid diperlakukan tidak wajar oleh petugas bandara lantaran dikira TKW/PMI adalah bentuk perlakuan tidak manusiawi dan merendahkan martabat kemanusiaan.
Jika petugas bandara/imigrasi/bea cukai menganggap pekerja migran sebagai manusia rendahan, mereka keliru besar dan sama halnya merendahkan pekerjaan mereka sendiri: Bukankah mereka juga buruh?
Mereka harus diberikan pelajaran tarikh bagaimana Nabi Muhammad SAW menganggap dan memperlakukan mereka sebagai makhluk paling mulia di dunia ini. “Bekerja dengan tangan sendiri adalah pekerjaan paling mulia,” kata Nabi SAW
Mentalittas inlander seperti ini kerap saya temukan juga di beberapa petugas imigrasi. Yang bersemayam di benak mereka, orang indonesia —- terlebih yang berpenampilan udik seperti saya —- yang akan bepergian ke luar negeri adalah buruh! (PMI). Ketika akan membuat paspor biasanya mereka akan mencecar dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan dan penuh curiga, seperti sedang mengintograsi maling ayam.
Saya pernah punya pengalaman buruk dengan petugas imigrasi. Saat pertamakali membuat paspor, saya menyerahkan tiga dokumen sesuai persyaratan: KTP, KK, Akta/Ijazah. Nama saya yang tertulis di salah satu dari tiga dokumen itu disingkat: Mohammad ditulis Moh.
Akhirnya, kata petugas imigrasi, nama singkatan harus dibuang, karena nama identitas di pasport tidak boleh disingkat. Jadilah tinggal satu suku kata: Jamaluddin.
“Bapak mau kemana,” tanya petugas
“Umroh, Pak!”
“Karena keperluan Bapak mau umroh, nama yang tertulis di pasport harus terdiri dari tiga suku kata. Jadi, saya tambahkan nama ayah Bapak,” ujarnya.
Saya tidak keberatan karena aturannya mungkin begitu. Saya penasaran apakah peraturan ini berlaku untuk semua negara.
“Pasport ini kan tidak hanya saya gunakan untuk umroh. Barangkali saja sewaktu-waktu saya mau kemping di hutan Amazon atau hiling ke sudut Alaska, apakah penambahan nama ini tidak bermasalah, mengingat tidak sama dengan nama di KTP?” tanya saya.
“Tidak!”
Waktu itu saya manut saja. Saya bodoh dan tidak mengerti UU keimigrasian. Setahun berikutnya saya mendapat undangan ke Jepang. Ketika mengurus visa, visa saya ditolak, karena, menurut pihak kedutaan Jepang, nama KTP dan pasport tidak sama.
Saya sudah menjelaskan panjang lebar kronologi perbedaan nama ini. Namun, pihak kedutaan Jepang tak mau tahu. Yang musykil bagi saya, peraturan tiga suku kata ini asal usulnya bagaimana dan dari mana? Sebegitu tidak berdaulatkan negeri ini sampai-sampai nama orang saja harus didikte negara lain? Inlander!
Begiitu ada kesempatan mengurus perpanjangan paspor, saya tak ingin “musibah administrasi” ini terulang kembali. Saya mengurus pergantian nama saya di semua dokumen agar seragam. Begitu saya mengajukan pergantian nama ke pihak imigrasi, saya malah disuruh ke pengadilan mengajukan permohonan pergantian nama. Saya bilang ke mereka, yang merubah nama paspor ini Anda bukan saya. Saya tetap kalah dan menyerah. Susah berurusan dengan orang yang otaknya sudah beralih menjadi kertas!