Penulis: Mahrus Ad-Dimasq, Ketua Umum Persatuan Pelajar Indonesia Damaskus
Suatu hari ada seorang penggali kubur di salah satu kompleks pemakaman masyhur di Damaskus. Pemakaman ini penuh dengan ulama, auliya, serta pahlawan (syuhada). Penggali kubur ini didatangi oleh seorang wanita yang memintanya untuk menggali kubur.
Tak lama setelah menggali kubur, wanita itu beserta beberapa pelayat yang tak banyak jumlahnya datang membawa jenazah. Jenazah ini diturunkan ke dalam liang lahat, namun tiba-tiba si penggali kubur ini melihat taman surga yang indah. Ia juga melihat dua malaikat membawa jenazah itu pergi dari sempitnya lahat. Seketika ia pingsan saking terkejutnya. Tatkala siuman ia ditanya apa yang menimpanya. Ia menceritakan kejadian itu tapi orang-orang mengira ia terlalu berimajinasi.
Selang beberapa bulan, masih menurut cerita Syekh Hisyam, wanita itu datang lagi dan meminta ia menggali kubur lagi. Penggali itu pun menggali kuburan lagi. Lalu datanglah si wanita itu bersama pelayat membawa jenazah. Ketika jenazah itu diturunkan ke dalam kubur oleh si penggali, seketika terjadi lagi hal yang sama: ia melihat taman surga dan malaikat membawa jenazah itu. Ia pun kembali pingsan.
Ketika siuman ia mengejar wanita itu dan menanyakan beberapa hal; siapa kedua jenazah itu? Apa yang mereka berdua lakukan sehingga mendapat karamah seperti ini?
Wanita itu menjawab, “Mereka berdua adalah anakku. Yang pertama adalah seorang santri (thalib ilm), dan yang kedua—yang baru saja meninggal adalah saudaranya yang bekerja sebagai tukang kayu dan menafkahkan hasilnya untuk saudaranya yang seorang santri itu.”
“Kontan saja,” lanjut Syekh Hisyam Al-Burhani, “ia pergi ke Masjid Jami At-Taubah—masjid yang menjadi tempat mengajarku dan leluhurku—ia mendatangi kakekku (atau ayahku?) yang bernama Syekh Said Al-Burhani.”
Masjid Jami At-Taubah adalah masjid yang cukup memiliki sejarah panjang di Damaskus. Dalam sejarahnya Izzuddin b. Abd Salam (sulthanul ulama; pengarang Qawaidul Ahkam) dan Ibnul Jazari (sarjana qiraah, pengarang An-Nasyr dan Muqaddimah Jazariyah) adalah di antara ulama yang pernah menjadi khathib di Jami’ At-Taubah.
“Aku ingin belajar agama.” Ujar penggali kubur itu kepada kakek Syekh Hisyam. “Umurmu sudah hampir 50. Apa yang membuatmu ingin mengaji?” Lalu si penggali kubur itu menceritakan kisahnya. “Baiklah,” ujar kakek Syekh Hisyam, “ambil kitab Jurumiyah. Mari mengaji nahwu mulai dari awal.” Sejak itu si penggali kubur itu mengaji dengan tekun hingga menjadi ulama besar Damaskus. Penggali kubur itu bernama Syekh Abdurrahman Al-Haffar (Haffar berarti tukang gali). Dan memiliki keturunan yang juga menjadi ulama dan pecinta ilmu, salah satunya adalah Abdur Razaq Al-Haffar.