Media Zainul Bahri, Guru Besar Pemikiran Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Ada banyak aspek yang bisa didiskusikan, tapi kita fokus pada tiga hal saja: Agama (otoritas Tuhan), Pendidikan dan Ekonomi.

Pertama,
(AP): kata seorang Sejarawan, sampai tahun-tahun 1300-an, orang-orang di London, Paris, Toledo dan banyak tempat di Eropa tidak percaya bahwa manusia bisa menentukan sendiri apa yang baik dan apa yang jahat, mana yang benar, mana yang salah, mana yang indah dan mana yang buruk. Hanya otoritas Tuhan saja yang berhak mendefinisikan apa itu baik, buruk, benar, salah dan indah. Tuhan (maksudnya Gereja) punya otoritas mutlak yang memberitahu kita apa yang harus kita pikirkan dan bagaimana kita harus berperilaku.

MM: paham “Humanisme” yang terus berkembang meyakinkan bahwa kitalah sumber tertinggi. Kehendak bebas kita merupakan otoritas tertinggi, tanpa harus tunduk dan patuh kepada wewenang eksternal seperti tuhan, agama, atau gereja. Anak-anak yang lahir di era Humanisme sudah dibombardir dengan rentetan slogan humanis yang menasihati kita: “Dengarkan dirimu sendiri, jujurlah kepada dirimu sendiri, percaya kepada dirimu sendiri, ikuti kata hatimu, lakukan apa yang kau pikir dan kau rasa baik”.

AP: begitu pula para pelaku dosa besar, misalnya berzina dengan istri teman/tetangga, atau berselingkuh hingga berhubungan intim, maka harus menghadap ke Gereja dan membayar pengakuan dosa 100 koin emas. Soal selingkuh dan zina ini adalah soal yang harus dirujuk ke kitab suci. Kitab suci dan Gerejalah yang memutuskan.

MM: perselingkuhan dan perzinahan lebih enak dibicarakan dengan teman, atau kalau terus “merasa berdosa”/merasa bersalah maka enaknya datang ke konsultan/terapis atau psikiater, curhat atau mendiskusikan “perasaan bersalah” itu murni berdasarkan pertimbangan rasional, logis dan empiris; gimana supaya perasaah bersalah dan berdosa itu hilang. Bukan berdasar kitab suci, dan tidak harus ke Gereja lagi.

Bagaimana fakta sosiologisnya kini? Apakah betul di masa modern, post-modern, sekular dan post-sekular masyarakat mengikuti pakem modernitas sepenuhnya seperti gambaran di atas? Di banyak negara sekuler-industrial, Ya! Tapi di banyak belahan bumi lain, terutama masyarakat Asia dan Afrika, dan terutama lagi negara-negara yang dianggap miskin dengan masalah sosial yang tinggi, orang-orang itu berbondong2 pergi ke Gereja, Masjid, Kuil dan Vihara. Mereka berdoa. Mereka masih mengakui Tuhan dan elit-elit agama sebagai otoritas tertinggi. Mereka masih membaca istighfar di masjid meminta ampun atas dosa-dosa besar dan kecil, atau melakukan “pengakuan dosa” (confession) di dinding-dinding tertutup di dalam Gereja.

Zaman sudah melampaui modern dan sekuler, tapi di banyak belahan bumi orang-orang menjadi menjadi religius. Malah, dalam satu teori Sosiologi Agama, The Promise of Salvation, disebutkan semakin orang menghadapi krisis hidup dan ketidakpastian, semakin orang “lari” kepada Tuhan. Pelarian kepada Tuhan ongkosnya murah, ketika ilmu pengetahuan dan teknologi yang mewah dan sangat mahal itu menjadi buntu, malah alih-alih memberikan blessing dan salvation, produk dari ilmu pengetahuan dan teknologi seringkali memunculkan “krisis baru”.

Kedua, soal Pendidikan.
AP: Di Abad Pertengahan, karena sumber segala makna dan otoritas bersifat eksternal (Tuhan dan Gereja), maka Pendidikan fokus pada penanaman kepatuhan, penghapalan kitab suci, dan pembelajaran tradisi-tradisi kuno. Para guru mengajukan pertanyaan kepada murid, murid harus “mengingat” atau “menghafal” bagaimana Plato, Aristoteles, Raja Solomon, atau Santo Thomas Aquinas dan Albertus Magnus menjawab pertanyaan guru itu. Di Dunia Islam juga sama. Muslim terpelajar harus menghapal Shahih Bukhari, Shahih Muslim, kata-kata Imam Ghazali, Ibn Taymiyyah, Asy’ari, Syafi’I, Maliki, Hanafi, Al-Juwaini dan seterusnya. Prestasi tertinggi adalah kalau bisa menghapal ribuan halaman dari tulisan para ulama itu.

MM: di masa humanisme modern, sistem Pendidikan mengajarkan agar para murid harus berfikir menurut pendapat mereka sendiri. Memang bagus kalau hapal kata-kata Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas, Imam Syafii, Ibn taymiyyah, Al-Ghazali dan para teolog atau pemikir Abad Pertengahan, tetapi otoritas dan sumber tertinggi adalah “DIRI KITA SENDIRI”. BAGAIMANA MENURUTMU? BAGAIMANA MENURUT PENDAPATMU? Itu yang penting, bukan hapalan. Jika seorang guru ditanya apa yang ia ajarkan, ia kan menjawab, “Saya mengajarkan kepada anak-anak sejarah, agama, fisika kuantum, atau seni, tetapi yang paling penting, saya mengajarkan kepada mereka untuk berpikir bagi diri mereka sendiri. Mereka harus punya pendapat sendiri”. Mungkin tidak selalu berhasil, tetapi itulah yang dicoba lakukan oleh Pendidikan humanisme-modern.

Bagaimana fakta sosiologisnya kini? Apakah betul di masa kini anak-anak sekolah dan orang-orang terpelajar selalu punya pendapat sendiri yang orisinal? Benar-benar meninggalkan hapalan? Faktanya: Tidak juga! Anak-anak sekolah tetap menghapal.

Dalam dunia ilmu pengetahuan, untuk bisa memiliki analisa yang tajam dan mendalam, atau untuk bisa memprediksi apa yang akan terjadi, orang-orang terpelajar tetap harus menghapal teori-teori, paradigma dan perspektif ilmu pengetahuan sebelumnya. Meski demikian, harus diakui bahwa model pendidikan hari ini sudah “jauh melesat” dan “jauh kreatif” dibanding lima ratus tahun yang lalu, meskipun ada beberapa model kuno yang masih bertahan.

Tetapi, “pendidikan menghapal” yang paling fenomenal hari ini adalah pada pendidikan agama. Kini, lembaga-lembaga pendidikan agama membuka program-program hapalan kitab suci dan teks-teks lain yang dianggap religius. Para pelajar agama hingga orang dewasa berbondong-bondong ingin punya hapalan yang banyak. Semakin banyak menghapal semakin berpahala dan istimewa. Orang hapal kitab suci bisa masuk perguruan tinggi negeri tanpa tes, atau bisa naik pangkat di kantornya dengan mudah. “Pendidikan hapalan” menjadi ladang bisnis yang menggiurkan. Namun, dalam “iklim menghapal”, tak akan ada ilmu pengetahuan baru yang muncul dan berkembang.

Ketiga, soal ekonomi.
AP: Di bidang ekonomi, pada Abad Pertengahan, Serikat Buruh (atau Gilda) mengendalikan proses produksi dan hanya menyisakan sedikit ruang bagi “inisiatif” atau “selera tukang” dan pelanggan individual. Serikat tukang kayu menentukan apa kursi yang bagus, serikat tukang roti mendefinisikan roti yang enak, dan serikat Meistersinger (seni lagu dan musik) memutuskan mana lagu yang elite dan mana yang sampah. Sementara itu, para pangeran dan dewan kota meregulasi upah dan harga, terkadang dengan memaksa orang untuk membeli jumlah barang tertentu dengan harga yang tidak bisa ditawar.

MM: dalam pasar bebas modern, peran semua serikat, pemilik modal, pemilik saham, dewan, raja, sultan, presiden, dan menteri digusur oleh sebuah otoritas tertinggi yang baru: “selera pasar” atau “kehendak bebas pelanggan” (customer). Sebuah produk, Toyota misalnya, meskipun telah membayar desainer mobil, insinyur, psikolog, sosiolog, antropolog dan dua peraih nobel ekonomi, lalu jutaan mobil diproduksi, tapi ternyata tak seorang pun mau membeli mobil itu, mau bilang apa? Dalam pasar bebas, pelanggan (customer) selalu benar. Selera pelanggan segala-galanya. Meskipun banyak profesor dan pendeta berceramah di podium bahwa produk itu sangat bagus, tapi jika kata customer tidak bagus atau buruk, no way!

Bagaimana fakta sosiologisnya kini? Sulit dibantah! “selera pasar” kini memang menentukan segalanya. Rasanya produk-produk ekonomi kreatif dan teknologi-lah yang mampu membuat distingsi secara signifikan antara era AP dengan MM. Tetapi, sekali lagi, semua produk itu tetap akan bergantung pada selera customer.

Dari Auguste Comte, Kuntowijoyo Hingga Cornelis van Peursen: Linier atau Siklis-Dialektik?

Filusuf Prancis, Auguste Comte, dua abad lalu meluncurkan tiga hukum progres kebudayaan manusia: zaman teologis, metafisika dan positivis. Seolah kebudayaan manusia terus bergerak ke depan secara linier: dari masa teologis, kemudian bergerak ke era metafisika, lalu berakhir di era ilmu pengetahuan yang positivistik.

Di Indonesia, sejarawan dan intelektual hebat Kuntowijoyo juga membuat periodesasi yang kurang lebih mirip dengan Comte. Menurut Pak Kunto, periodesasi umat Islam Indonesia terbagi ke dalam tiga periode: zaman mitos, zaman ideologi, lalu berakhir di periode ilmu pengetahuan. Di zaman mitos, umat masih kental dengan kepercayaan mistis-religius. Pengetahuan apa pun, waktu itu, menjadi mitos yang kokoh. Masa ini berlangsung hingga tahun 1900-an. Setelah periode itu, khazanah pengetahuan Islam yang sebenarnya sudah akrab di kalangan kaum muslim, hanya dipahami sebagai “format yang normatif”.

Formulasi normatif itu lama-lama berkembang menjadi ideologi; Islam menjadi ideologi. Dalam organisasi misalnya, Pak Kunto menyebut Sarekat Islam. Bisa juga ditambah dengan Muhammadiyah (1916) dan Persis (1923) yang menjadikan Islam sebagai ideologi kaum reformis. Era ini berlangsung sampai tumbangnya PKI sebagai “ideologi komunis” (1965) dan kemenangan kaum Muslim. Setelah tahun 1965-an muncullah benih-benih baru ketika Islam dimunculkan sebagai “ilmu”. Semakin lama “ilmu pengetahuan Islam” berkembang sangat pesat hingga hari ini.

Tetapi apakah era teologis (Comte) atau mitos (Kuntowijoyo) segera ditinggalkan oleh umat manusia ketika muncul era positivisme dan ilmu pengetahuan? Atau apakah umat Islam segera meninggalkan era “mistik-religius” dan “zaman ideologi” ketika sibuk dengan masa “ilmu pengetahuan Islam”? Apakah tahapan-tahapan periode itu berlangsung linier? Faktanya: tidak! Kini, semua tahapan itu berjalan beriringan bersamaan dengan modifikasi-modifikasi (wajah) modern.

Penjelasan van Peursen, dalam Strategi Kebudayaan (1988), mungkin lebih bisa diterima. Meskipun Peursen gak menyebut istilah “linier”, “spiral” atau “siklis-dialektis”, namun tahapan-tahapan kebudayaan yang dirumuskannya bisa dibaca sebagai gerak model “siklis dialektis”. Peursen menyebut tiga fase perkembangan budaya manusia: mitis, ontologis dan fungsional. Sebagaimana Comte, di “zaman mitis”, menurut Peursen, orang (1) takjub sekaligus takut kepada alam; (2) percaya bahwa alam memiliki daya-daya magis atau kekuatan yang maha besar yang tidak bisa dipahami dan dikendalikan oleh manusia; (3) alam terus mengelilingi manusia tak putus-putus; (4) muncul mitos-mitos tentang dewa-dewi. Mereka lalu disembah; (5) mitos diciptakan untuk memberi arah, kompas atau pedoman hidup bagi manusia.

Berbeda dengan alam pikiran mitis, manusia di “zaman ontologis” mulai: (1) memiliki penalaran-penalaran logis-rasional. Kekuatan dan misteri alam mulai bisa dijelaskan dengan penafsiran dan pengertian-pengertian yang jelas; (2) manusia sudah bisa menjaga jarak (distansi) dengan semua kekuatan alam.

Berbeda dengan Comte yang memandang tahapan kebudayaan itu bersifat linier; dari zaman ontologis (metafisika istilah Comte) segera beralih ke era ilmu pengetahuan positivistik, maka bagi Peursen tahap ketiga adalah “fase fungsional”. Jika pada zaman mitis, manusia takut dan cemas terhadap alam, dan di zaman ontologis manusia, bukan saja menjaga jarak (distansi), bahkan memutuskan hubungan dengan alam, maka di zaman fungsional, hubungan manusia dengan alam adalah relasi yang tidak terbatas. Kedua belah pihak terbuka satu sama lain.

Keterbukaan subjek (manusia) terhadap objek (alam) memberikan dampak yang sangat signifikan dalam perkembangan kebudayaan manusia: ilmu pengetahuan, filsafat, seni, dan teknologi. Subjek melihat alam dari kegunaan dan manfaatnya (fungsional). Artinya jika suatu objek secara praktis tidak memiliki kegunaan atau tidak bisa dibuktikan manfaatnya, maka akan disingkirkan. Eksistensi dan peran Tuhan misalnya, yang pada fase sebelumnya (ontologis) dimaknai apriori mulai disangsikan dan dipertanyakan peran dan fungsinya dalam realitas kongkrit, karena tolak ukurnya bukan lagi pertanyaan mengenai “apa itu ada?”, tetapi “bagaimana ada itu berfungsi?”.

Maka muncul tiga kelompok di era fungsional ini. Pertama, gelombang Ateisme yang menegaskan bahwa Tuhan, bukan hanya tidak eksis, tapi tidak ada fungsi dan gunanya percaya pada Tuhan. Sebaliknya, ada gelombang manusia yang masih meyakini sepenuhnya Tuhan “sangat berfungsi” dan “sangat berguna” karena itu disembah secara mutlak. Ketiga, ada juga gelombang manusia yang masih tetap “memuja” dan “mensakralkan alam”. Alam sudah dirusak sedemikian parah oleh modernisme. Harus ada kelompok manusia yang melestarikan “kesucian alam” dengan cara mensakralkannya dan membuat “tabu-tabu” untuk keberlangsungan alam.

Jadi, secara hermeneutis, Tesis van Peursen bisa dibaca sebagai “model siklis-dialektis”, bukan linier dalam arti terus bergerak ke depan dengan memutus yang lama, dan bukan pula “lingkaran spiral” bahwa kebudayaan manusia terus berulang tetapi akan menaik dan berevolusi menuju kesempurnaan. Kebudayaan manusia akan terus mengalami “siklus” tetapi berdialektika satu sama lain secara dinamis.

Orang-orang modern, terpelajar, insinyur dan teknokrat yang positivistik, sejak era Orde Baru, ketika membangun jembatan atau gedung besar tetap saja harus “menanam” kepala kerbau. Orang modern hari ini masih melakukan upacara sedekah laut atau Nyadran dengan melarung ayam, nasi tumpeng dan kepala kerbau ke laut. Yang lain masih melakukan upacara “sedekah bumi”. Yang lain lagi masih membakar dupa untuk sesembahan di puncak gunung. Yang lain lagi ada yang memakai jasa “Pawang Hujan” untuk pagelaran olahraga internasional. Para pejabat tinggi negara menggelar syukuran “potong tumpeng” untuk ibu kota baru di Kalimantan. Padahal semua itu mitos, kan?

Rentetan sejarah Indonesia dari era Singosari-Majapahit-Walisongo-Demak Islam-Koloni Belanda-Orde Lama-Orde Baru hingga Orde Reformasi, menunjukkan bahwa pandangan dan nilai-nilai lama tidak pernah benar-benar terputus. Bahkan banyak orang lama menjadi “pahlawan” di era baru. Karena itu, “jangan mengutuk” yang lama dan “menuhankan” yang baru. Kalau punya yang baru jangan disayang berlebihan dan jangan menyia-nyiakan yang lama yang sudah banyak jasanya

One thought on “Apa Beda Kebudayaan di Abad Pertengahan (AP) Dengan Masa Modern (MM)?”
  1. setuju yang ini bang “Rentetan sejarah Indonesia dari era Singosari-Majapahit-Walisongo-Demak Islam-Koloni Belanda-Orde Lama-Orde Baru hingga Orde Reformasi–sampai indonesia bangkit–menunjukkan bahwa pandangan dan nilai-nilai lama tidak pernah benar-benar terputus. Bahkan banyak orang lama menjadi “pahlawan” di era baru. Karena itu, “jangan mengutuk” yang lama dan “menuhankan” yang baru. Kalau punya yang baru jangan disayang berlebihan dan jangan menyia-nyiakan yang lama yang sudah banyak jasanya. karena pada dasarnya manusia akan kembali sebagaimana dia datang, mau segagah apa saat dia berada ditengah (muda-dewasa) hasilnya akan sama yakni menjadi manula-ringkih-loyo- dan akhirnya hanyalah jasad tanpa energi ruh dan sejenisnya. tajdiddun niat. perbaiki niat. dalam setiap gerak, tangan kaki, mulut, bahkan gerak isi kepala sehingga tidak membawa pada penyesalan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *