Oleh: Hamid Basyaib
MEMBACA kolom Butet Kartaredjasa (“Dahaga Tepuk Tangan,” Kompas, 14/1), ingatan saya kontan melesat ke penelitian Profesor Umberto Eco, dosen Semiotika di Universitas Bologna. Ringkasan risetnya ditulis sebagai esai pendek di sebuah koran Italia, pada 1980an (dimuat dalam antologinya, “How to Travel with Salmon”).
Ia diundang untuk meneliti keunikan bangsa Bonga, oleh lembaga riset di republik yang tampaknya berada di Afrika Tengah itu.
Research question yang mau dijawab: kenapa rakyat Bonga tidak paham konsep implisit. Semua hal mereka nyatakan dengan eksplisit, walaupun menurut ukuran norma umum di kebanyakan negara lain hal-hal itu sudah jelas dan karena itu tidak perlu diungkapkan.
Misalnya, semua orang di mana pun tahu bahwa berbicara atau bercakap-cakap tentulah menggunakan kata-kata, dan susunannya dikenal sebagai kalimat, himpunan totalnya disebut bahasa. Warga Bonga beda. Dalam obrolan dua orang Bonga, misalnya, bisa muncul dialog seperti ini:
“Bung, tolong perhatikan, ya. Saya mau bicara. Dan saya akan bicara dengan menggunakan kata-kata dan kalimat.”
Rekannya mungkin menanggapi: “Oh, baiklah. Saya akan perhatikan. Dan saya akan mendengarkan dengan menggunakan telinga.”
Berbeda dari semua kota lain di seluruh dunia, tempat tinggal warga Bonga jarang yang diberi nomor, nama jalan, atau nama penghuninya. Tapi satu hal pasti: semua rumah di sana ditulisi “Rumah”, dan di semua pintunya ada tulisan “Pintu.”
Dalam penelitian, Profesor Eco mendatangi rumah para warga untuk wawancara tatap muka. Setiap dia mengetuk pintu, tuan rumah membukakannya dan menyambut: “Halo, sekarang saya sedang membuka pintu rumah, silakan masuk.”
Tuan rumah yang ramah mengajaknya makan siang. Dengan gembira dia menginformasikan: “Ini meja. Ini kursinya.” Lalu, dengan penuh wibawa dia mengumumkan dengan tegas: “Sekarang pelayan akan masuk! Dia akan bertanya pada Anda, makanan dan minuman apa yang Anda inginkan!” Itu bukan perkecualian. Di semua restoran yang didatangi Pak Eco pun dia menerima sambutan serupa.
Pernah dia nonton pertunjukan teater, dan pembawa acara memperkenalkan satu per satu para pemain, nama lengkap mereka dan nama karakter yang akan sebentar lagi mereka perankan di panggung. Ketika ia menonton acara lawak, ketiga pelawak serentak tampil di pembukaan, dan membacakan pengumuman: “Selamat malam hadirin sekalian, terima kasih telah bersedia menonton pertunjukan kami. Kami telah menyiapkan cerita untuk malam ini. Saat ini kami siap-siap mau melawak. Silakan nanti ketawa, ya. Terima kasih.”
***
Setelah menemukan fenomena yang luas tentang kegandrungan warga Bonga terhadap klarifikasi, Profesor Eco juga diminta merekonstruksi sejarah tepuk tangan di republik itu. Rakyat Bonga memang terserang demam keplok yang sangat akut. Apa saja ditepuki.
Dulu, di masa awal munculnya siaran televisi, produser sering membawa seluruh handai tolannya ke studio untuk menyumbang keplokan. Sementara acara TV itu sendiri, misalnya talk show, konstan diwarnai semangat eksplisitasi dan gandrung klarifikasi.
Host, misalnya, akan memulai dengan bertanya kepada para tamu bagaimana kabar mereka dan apakah mereka sehat-sehat belaka, setelah memperkenalkan mereka satu per satu, disertai gelar, jabatan dan keahlian, ditutup dengan deklarasi bahwa para tamu itu telah hadir di studio.
Di studio TV disediakan fasilitas lampu tanda dimulai dan diakhirinya keplok dalam bagian suatu acara; atau staf studio memberi aba-aba di dekat panggung (penonton di rumah dipastikan tidak melihat keduanya).
Lama kelamaan, para produser bosan membawa kerabat yang itu-itu juga ke studio. Kemudian mereka membayar juru keplok dari warga umum. Muncul pula agen bisnis penyedia keplok. Studio membayar mereka. Studio lalu membayar orang per orang yang masuk rombongan keplok — selisih harga merupakan profit perusahaan pemasok keplok.
Semua diatur dengan seksama. Profesor Eco menyimpulkan: “Pendeknya, konsep kehendak bebas (free will) yang sangat penting sebagai ciri manusia merdeka ditekan sampai ke titik nol.”
Jenis, bentuk dan durasi keplok pun diperinci dan diberi makna masing-masing. Dalam sebuah acara TV, seorang tamu ditanya oleh host, apa pekerjaan sampingannya selain sebagai atlet senam. Ketika dia menjawab dengan bangga, “Saya pegawai honorer di kamar gas untuk kucing-kucing yang dibuang pemiliknya,” ia kontan disambut gemuruh tepuk tangan yang sangat panjang. Warga yang ingin punya kemampuan keplok dengan canggih, bisa ikut kursus keplok yang muncul dengan subur di seantero negeri.
Perkembangan mutakhir menunjukkan fakta bahwa warga Bonga makin terlatih, dan bertepuk tangan seolah telah menjadi bagian dari insting permanen mereka. Mereka seakan menganut ajaran seorang filosof Prancis, “Cokeplok ergo sum — aku keplok maka aku ada.”
Profesor Eco pernah berkunjung ke rumah seorang warga, dan berbincang dengan seluruh anggota keluarga. Ia ingin tahu riwayat tepuk tangan di keluarga itu; sejak generasi ke berapa mereka mulai gandrung keplok. Di tengah obrolan, seorang kerabat masuk dan memberi tahu: “Nenek kita baru saja dilindas truk gandeng!” Seluruh penghuni rumah serta merta berdiri sigap dan dan bertepuk tangan.
***
Kegandrungan warga Bonga bertepuk tangan juga mungkin karena para pemimpin, tokoh masyarakat, seperti para artis dan pelawak, memang gila dikeploki. Atau dalam ungkapan Butet: ngelak keplok alias haus akan tepukan pujian atau kekaguman.
Jelas dia bermaksud menyindir dengan tulisan saneponya. Sindirannya sangat halus, sampai dia hanya bisa berharap — tidak berani memastikan — semoga pembaca kolomnya, tentu termasuk pihak yang disindir, mengerti. Tapi, mengerti atau tidak, yang penting: selalulah siaga untuk bertepuk tangan.
Kini tibalah saatnya saya mengakhiri tulisan tanggapan terhadap kolom Butet tersebut. Ayo keplok bersama Pak Eco!