Fārïz Alnizär

Oleh: Fārïz Alnizär, Dosen UNUSIA Jakarta

Bahari, tulisan yang baik adalah tulisan yang berkualitas. Kualitas itu bisa dilihat dari macam-macam sudut pandang. Bisa dari kejernihan penyampaian gagasan, bisa dari ketitisan mendeskripsikan sesuatu, bisa juga dari penggunaan kosa kata yang arkaik dan akrobatik lagi memikat, dan seterusnya dan sebagainya. Kita bisa memperpanjang sudut pandang kualitas tulisan ini semau dan semampu kita.

“Ada banyak jalan yang bisa ditempuh untuk memperbaiki tulisan,” begitu bunyi kalimat di sebuah spanduk yang berisi penawaran pelatihan penulisan kilat. Ya. Tentu saja banyak jalan yang bisa ditempuh untuk memperbaiki kualitas tulisan dan tentu saja di antara banyak jalan itu, yang dimaksud oleh panitia adalah “ikutlah pelatihan ini. Bukan pelatihan penulisan yang lain.”

Watak iklan memang demikian. Ia harus menyampaikan sesuatu yang menarik perhatian. Bila perlu menjanjikan sesuatu yang mustahil dicapai sekalipun: mahir menulis dalam waktu delapan setengah hari, pintar bahasa Inggris dalam waktu kurang dari tujuh putaran gerakan tawaf, cakap public speaking dalam waktu kurang dari dua kali perpanjangan waktu pertandingan sepak bola. Berengsek.

Iklan memang kadang sepanggang seperloyangan dengan—meminjam Orwell—janji-janji manis politikus. Sama-sama menjanjikan “membangun jembatan” meski di tempat yang tidak ada sungai sekalipun.

Bagi saya, sekali lagi ini bagi saya, tulisan yang baik itu lahir dari bacaan yang baik. Dus, menjadi penulis yang baik itu mula-mula harus memenuhi kualifikasi sebagai pembaca yang baik. Memang benar bahwa membaca yang baik tidak menjamin tulisan kita menjadi otomatis baik. Apalagi jika kita bukan pembaca yang baik? Coba dipikir sendiri. Begitulah sunatullah bekerja.

Tersebab itu, belakangan beberapa kali saya menolak ketika diminta untuk mengisi pelatihan penulisan. Saya trauma. Terus terang saja. Sebab di banyak pelatihan penulisan—yang saya diminta mengisi di dalamnya, saya—maaf maaf—tidak bertemu dengan calon penulis.

Setiap membaca tulisan peserta, setiap kali badan saya terasa mati separo. Mata berkunang-kunang. Rambut memutih lebih cepat dari waktu yang seharusnya. Stuktur wajah mengalami akselerasi penuaan dini. Mimis saya mengucur. Jakung saya naik turun dan dada gemuruh sambil menggumam: ini peserta menulis atau berak sih?

Saldo pesimistis saya selalu bertambah. Rasa frustrasi semakin menjadi-jadi dan berurat akar dan itu membuat saya semakin yakin bahwa yang mula-mula harus digalakkan adalah pelatihan membaca.
Jika sudah terlatih membaca, kita punya semacam insting untuk mengendus mana tulisan baik, mana tulisan buruk, mana tulisan yang laik dibaca dan mana tulisan yang cukup berhenti sebagai pantes-pantesan untuk memenuhi kebutuhan dan kewajiban: misalnya dosen untuk BKD dan guru untuk sertifikasi.

Akan halnya itu, “rumus” ini juga menurut saya cocok digunakan untuk—dengan nada sedikit ngotot—mengkritik kegiatan pelatihan kepemimpinan yang sering digalakkan dan pakai uang negara itu. Bukankah pemimpin yang baik itu lahir dari kualitas penjiwaan yang paripurna ketika menjadi rakyat? Mestinya latihan menjadi rakyat yang baik dulu sebelum menjadi pemimpin. Latihan jadi makmum dulu sebelum jadi imam. Begitu.

Intinya latihan. Sebab tanpa latihan, orang buang sampah akan tetap sembarangan mesti saban hari ustaz di musala dan guru di sekolah tarik urat leher dengan suara bariton mengatakan: kebersihan sebagian dari iman!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *