Contact Theory

Oleh: Prof. Dr. Abad Badruzzaman, Guru Besar UIN SATU Tulungagung

Judul ini merupakan salah satu sub-judul dari buku terbaru Prof. Mun’im Sirry: “Pendidikan dan Radikalisme.” Dari total 362 halaman utama, saya membacanya baru sampai halaman 61. Yakni baru Bab 1 dari Bagian Satu: Intoleransi Agama di Lingkungan Sekolah. Bagian ini terdiri dari tiga bab. Dari Bab 1 yang telah saya baca, sub-judul “Keragaman Agama dan Contact Theory” sangat menarik perhatian saya. Karenanya, seraya meminta izin kepada Prof. Mun’im, saya menjadikan sub-judul tersebut judul untuk tulisan ini.

Sub-judul “Keragaman Agama dan Contact Theory” mendorong saya kembali ke masa lalu. Masa kecil hingga usia 18-an. Kampung saya bertetangga dengan sebuah kampung bernama Susuru. Warga kampung Susuru cukup beragam dari sisi agama yang dianut: Islam, Katolik, dan Penghayat Ajaran Karuhun Urang (Akur). Meski saya bukan warga kampung Susuru, tapi cukup sering berinteraksi langsung dengan penganut Katolik di kampung itu.

Anak-anak kampung saya dan kampung Susuru, kala itu, bersekolah SMP ke sekolah yang sama. Maklum waktu itu satu kecamatan cuma ada satu SMP. Walaupun saya sekolah di MTs, tapi jalan dari kampung kami ke SMP dan MTs rutenya sama. Saat berangkat atau pulang sekolah di SMP itulah kami biasa bertemu dan bertegur sapa dengan teman dari Susuru yang beragama Katolik.

Olah raga favorit orang kampung, apa lagi kalau bukan bola volley. Sering kampung saya melakukan “eksibisi” bola volley ke kampung sebelah, atau sebaliknya. Tim volley kampung Susuru tersohor sebagai Tim Kuat. Sering juara ketika lomba antar-kampung. Dari seluruh pemain Tim Bola Volley Susuru, 2-3 di antaranya beragama Katolik. Satu di antaranya saya masih ingat namanya: Yaman. Posisinya tukang smash. Ingat Tim Volley Susuru, ingat Yaman. Pemain andalan. Idola anak-anak seumuran saya kala itu.

Kembali ke Susuru. Susuru ini dapat dibilang merupakan “miniatur” masyarakat plural. Yakni, seperti telah disinggung, ada tiga kelompok keyakinan di sana: Islam (mayoritas), Katolik, dan Penghayat Ajaran Karuhun Urang (Akur). Yang menarik sekaligus mengagumkan, mereka hidup rukun dan damai, hingga kini. Bukan cuma rukun, mereka juga biasa saling-membantu dalam berbagai kegiatan. Ketika orang Islam bangun masjid dan madrasah, yang Katolik dan Kepercayaan ikut bantu-bantu. Dalam hidup keseharian tidak pernah sedikit pun terjadi gesekan.

Tahun 1991, saya bersama teman-teman sekelas mengadakan Kemah Dakwah di Susuru. Ada hal menarik, waktu pembukaan dan juga penutupan Kemah Dakwah, di antara unsur masyarakat yang diundang hadir adalah tokoh agama Katolik dan Aliran Kepercayaan. Mereka mengangkat tangan dan mengucap “Amiin” ketika tokoh dari Islam menutup acara dengan doa. Menurut warga setempat, “Mereka mah emang gitu orangnya; akur, damai, guyub dan rukun.”

Satu lagi hal menarik. Sebuah keluarga Katolik anak-perempuannya masuk Islam, menikah dengan seorang Muslim. Dari pernikahan itu lahir seorang anak laki-laki. Selepas SD si anak dimasukkan ke pesantren. Setiap kali si anak mau berangkat ke pesantren, sang nenek yang Katolik selalu membekali sang cucu yang akan menimba ilmu-ilmu Islam.

Di bawah judul: “Keguyuban di Lembah Ciamis”, Harian Kompas (13/08/2012) pernah meliput secara eksklusif kerukunan dan kedamaian kehidupan multi-agama di kampung Susuru. Di sana sekarang sudah ada MTs, juga SMK. Tapi tak pernah terdengar sedikit pun gesekan antar warga berlainan agama dan keyakinan. Aman, tenteram, damai, rukun!

Ingatan saya tentang Kampung Susuru juga membawa saya pada sosok Aki (Kakek) saya dari pihak Emak. Aki boleh dibilang seorang yang ditokohkan. Baik dalam urusan keagamaan maupun sosial-kemasyaratakan. “Unik”-nya, jika di kampung tetangga ada orang Katolik yang meninggal dunia, Aki bersama beberapa warga tetap melayatnya. Dalam hal ini Aki tidak pandang agama. Sebuah keluarga yang berkabung karena kematian salah satu anggotanya berhak atas bela sungkawa dari siapa pun; apa pun agama yang dianut keluarga itu. Demikian kiranya prinsip yang dipedomani Aki.

Satu kali, sepulang melayat tetangga yang Katolik, Aki berujar—kurang lebih—seperti ini: “Orang Katolik yang barusan meninggal itu orang baik. Mungkin di alam kuburnya dia juga mendapat pahala atas kebaikannya.” Jelas Aki tidak kenal Gus Dur, Cak Nun, Kang Jalal atau siapa pun yang sering disebut tokoh pluralis. Aki hanya mengandalkan “hati dan perasaan kemanusiaan” ketika memberi kemungkinan adanya pahala untuk orang Katolik yang baik. Terus terang, kala itu saya tidak sependapat dengan Aki. Belakangan saya menggolongkan pemikiran Aki semacam itu sebagai pluralisme, atau setidaknya inklusivisme.

*0*

Pada rentang 2006-2013 saya dipercaya menjadi Ketua Jurusan Ushuluddin, lalu 2014-2018 menjadi Dekan Fakultas Ushuluddin. Dalam rentang waktu itu, beberapa kegiatan saya selenggarakan dengan melibatkan tokoh-tokoh agama yang ada di Tulungagung, bukan cuma Katolik dan Protestan. Beberapa kali, bersama mahasiswa Ushuluddin, kami mengadakan buka puasa bersama tokoh-tokoh lintas agama. Sebelum beduk magrib, kami berdiskusi terutama tentang nilai-nilai universal kemanusiaan.

Di kisaran 2015-2018 kami juga bekerjasama dengan salah satu Radio di Tulungagung yang pemiliknya seorang Kristen; saya tidak tahu pasti apakah dia Protestan atau Katolik. Yang jelas orangnya baik dan ramah. Dia memberi slot acara bertajuk “Bengkel Keluarga” untuk dosen-dosen Ushuluddin seminggu sekali. Dialog Lintas Iman biasa kami selenggarakan di Ushluddin, baik ketika ia masih berupa Jurusan maupun setelah menjadi Fakultas. Entah sudah berapa kali Pendeta Kristen Pantekosta Tulungagung, Pak Samuel Syam Saeni, datang kantor saya sambil “teriak”: “Assalamu’alaikum Pak Abad…” Lalu ngobrol sana-sini. Sebelum pulang, tak lupa Pak Sam mendoakan kebaikan untuk saya dan UIN SATU.

Kegiatan lain yang melibatkan berbagai kelompok agama di mana saya ikut di dalamnya, baik sebagai pribadi maupun mewakili Kampus, adalah menanam pohon. Tandur Bareng. Tahun 2019 saya terlibat langsung. Bagaimana tidak. Ribuan bibit pohon yang ditandur bersama itu berasal dari 5000-an mahasiswa baru (Maba) UIN SATU Angkatan Tahun 2018. Kepada mereka, Wakil Rektor 3 UIN SATU kala itu, memang mewajibkan Maba membawa benih pohon di akhir PBAK (Ospek).

*0*

Pada 19 Mei kemarin, saya lihat di dinding Fb Prof. Mun’im bahwa buku terbaru beliau sudah terbit. Judul lengkapnya: “Pendidikan dan Radikalisme: Data dan Teori Memahami Intoleransi Beragama di Indonesia.” Lewat Mas Muh Taufik Al Jogjawi saya memesan buku itu. Tanggal 19 pesan, tanggal 24 buku mendarat di teras rumah. Seperti biasa, saya selalu “antusias” meyambut buku-buku karya Prof. Mun’im. Tidak terkecuali buku ini. Seperti biasa pula saya selalu membuat ulasan sekadarnya untuk buku-buku beliau. Hanya saja, kali ini saya “gagal” membuat ulasan untuk buku “Pendidikan dan Radikalisme” ini. Kali ini saya hanya “menghubung-hubungkan”, bahwa pengalaman yang saya utarakan di atas relevan dengan apa yang dalam buku “Pendidikan dan Radikalisme” ini disebut sebagai Contact Theory.

Tentang Contact Theory ini, Prof. Mun’im mengatakan bahwa pertemuan-pertemuan langsung dengan penganut beda agama sangat penting dalam membentuk sifat keterbukaan terhadap keragaman agama. Banyak sarjana menemukan bahwa hubungan langsung antar kelompok-kelompok masyarakat berperan sentral dalam mengurangi prasangka dan sikap permusuhan di tegnah masyarakat berlatar beda agama dan etnik/suku. Di kalangan remaja, pentingnya hubungan beda budaya dan keyakinan agama bahkan lebih kentara lagi, karena pada usia itulah mereka mulai memunculkan kecenderungan rasa percaya diri yang kuat sebagai satu kelompok.

Contact Theory diperkenalkan oleh Gordon Allport dalam karya utamanya: “The Nature of Prejudice.” Allport mengembangkan teori ini berdasarkan hipotesisnya bahwa dengan makin seringnya terjadi hubungan antar beda kelompok, termasuk antar-kelompok mayoritas dan minoritas, kelompok dominan dan terpinggirkan, maka makin cepat pula prasangka mereda dan membuahkan hasil-hasil sosial yang positif. Kata Allport: “Prasangka atau waham (kecuali kalau sudah berakar kuat dalam sifat dan kepribadian seorang) bisa dikurangi dengan cara menjalin status hubungan yang setara antar kelompok mayoritas dan minoritas demi mencapai tujuan yang sama. Pengaruhnya sangat ditentukan oleh dukungan dari lembaga-lembaga tertentu (seperti perangkat hukum, adat dan kebiasaan, tau kebijakan lokal), sehingga dengan demikian hubungan semacam itu akan membentuk persepsi kepentingan dan kemanusian bersama antar anggota kedua kelompok tersebut.”

Tapi bukan hanya kesetaraan hubungan yang dipersyaratkan untuk memastikan hubungan antar berbagai kelompok bisa menepis bias pandangan stereotip yang menimbulkan prasangka. Allport menambahkan syarat lainnya, yaitu bahwa hubungan itu mesti bersifat intim dan otentik tidak dibuat-buat dan berjarak. Tidak kalah penting juga, hubungan harmonis itu harus dijamin dan didukung oleh otoritas terkait. Poin terakhir ini juga menjadi perhatian penting Thomas Pettigrew yang berpendapat bahwa dukungan lembaga tertentu merupakan syarat utama untuk mengurangi pandangan stereotip dan prasangka. Maka, dukungan lembaga dan masyarakat setempat mesti ada untuk membantu terciptanya iklim sosial yang melahirkan norma-norma toleransi.

Teori Allport didukung pula oleh Cathryn Berger Kaye yang mengatakan bahwa saat para pelajar menghabiskan waktu bersama-sama, mereka akan belajar lebih banyak tentang satu sama lain dan menyadari betapa banyak kesamaan yang mereka miliki sementara perbedaan mereka pun berangsur-angsur pudar. Berbagai studi menunjukkan dampak positif pertemuan-pertemuan antar kelompok beda agama. Marcus-Newhall dan Timothy R. Heindl, sebagai contoh, meneliti sekolah berlatar lingkungan beda ras berdasarkan syarat atau kondisi contact theory Allport ini, dan terungkap bahwa kepercayaan diri dan hasil prestasi akademik pelajar secara positif dipengaruhi oleh hubungan mereka dengan kelompok beda ras. Michele Wittig dan Sheila A. Grant Thompson juga menggunakan hipotesis pentingnya jalinan hubungan menurut tori Allport ini dan menyimpulkan bahwa bahkan di kalangan guru pun terbentuk sikap yang lebih positif antar sesama mereka dan saat mengajar anak didik berbeda latar agama.

Sebaliknya, segregasi dan minimnya pertemuan antar beda kelompok adalah sumber, asal-muasal ketidakpedulian (ignorance), dan hal ini menjadi ladang subur tempat berkembang biaknya pandangan stereotip yang merendahkan orang lain dan sikap permusuhan antar ras dan agama. Pandangan bias dan stereotip akan berkurang ketika anggota kedua kelompok yang bermusuhan saling bertemu, menjadi dekat dan akrab, dan terlibat dalam semacam kerja sama. Dalam konteks Indonesia, Ben KC. Laksana dan Bronwyn E. Wood menunjukkan bahwa banyak pelajar yang berubah pandangan mereka terhadap orang lain setelah bertemu langsung dan bercengkerama dengan mereka yang sebelumnya tidak mereka suka. Ini tentu tidak berarti menyangkal pentingnya pemahaman inklusif yang mendukung terciptanya koeksistensi tersebut.

Poin penting yang ditekankan di sini adalah bahwa toleransi mensyaratkan interaksi, pertemuan-pertemuan antar beda kelompok dan adanya keterlibatan langsung, bukan segregasi dan pengucilan diri. Toleransi “setengah hati” akan muncul bila pemahaman dan kedekatan dengan kelompok lain minim. Bahkan, tidak adanya pertemuan-pertemuan dan interaksi langsung antar beda kelompok bisa melahirkan rasa enggan untuk terlibat langsung dengan orang lain. Jadi, toleransi bisa bersifat pasif atau aktif, dan pemahaman suatu sekolah berbasis multikultural mesti diarahkan pada toleransi aktif.

Brian Leiter menekankan bahwa toleransi hanya akan bermakna dan berperan penting bila satu kelompok benar-benar terlibat langsung dengan keberadaan, kepercayaan, dan tindakan kelompok lain yang berbeda. Sikap tidak peduli atau masa bodoh terhadap orang lain atau penganut beda agama tertentu tidak dianggap sebagai sikap toleransi yang sebenarnya dalam hal ini, karena sikap tersebut justru menyiratkan ketidaksukaan. Setiap orang memaknai toleransi (dan intoleransi) secara berbeda sesuai pemahaman mereka masing–masing. Cukup dikatakan di sini bahwa sikap toleransi sejati tidak semata mengakui keragaman tetapi juga menghargainya. Toleransi adalah mengakui segala bentuk perbedaan dan menerima mereka.

*0*

Kembali ke masa kecil saya di kampung saat bertemu dan berinteraksi langsung dengan beberapa penganut Katolik dan Penghayat Ajaran Karuhun, kemudian era 2006-2018 di mana saya sering menjadi “fasilitator” dialog antar iman di Kampus (STAIN, IAIN, lalu UIN); semua itu semoga saya tidak keliru jika menunjuknya sebagai relevan dengan Contact Theory yang dikembangkan Allport yang kemudian didukung dan dikuatkan oleh Pettigrew, Kaye, Marcus-Newhall, Heindl, Wittig, dan Thompson. Jika pun tidak benar-benar relevan pada seluruh aspeknya, setidaknya pada satu-dua aspeknya.

One thought on “Keragaman Agama dan Contact Theory”
  1. Setelah saya baca, saya juga sependapat bahwa setidaknya ada beberapa faktor pendukung yang bisa menyebabkan atau meningkatkan toleransi (dan intoleransi).
    Tentang Contact Theory ini, Prof. Mun’im mengatakan bahwa pertemuan-pertemuan langsung dengan penganut beda agama sangat penting dalam membentuk sifat keterbukaan terhadap keragaman agama. Banyak sarjana menemukan bahwa hubungan langsung antar kelompok-kelompok masyarakat berperan sentral dalam mengurangi prasangka dan sikap permusuhan di tegnah masyarakat berlatar beda agama dan etnik/suku. Di kalangan remaja, pentingnya hubungan beda budaya dan keyakinan agama bahkan lebih kentara lagi, karena pada usia itulah mereka mulai memunculkan kecenderungan rasa percaya diri yang kuat sebagai satu kelompok.
    Sebaliknya, segregasi dan minimnya pertemuan antar beda kelompok adalah sumber, asal-muasal ketidakpedulian (ignorance), dan hal ini menjadi ladang subur tempat berkembang biaknya pandangan stereotip yang merendahkan orang lain dan sikap permusuhan antar ras dan agama. Pandangan bias dan stereotip akan berkurang ketika anggota kedua kelompok yang bermusuhan saling bertemu, menjadi dekat dan akrab, dan terlibat dalam semacam kerja sama.
    Poin penting yang ditekankan di sini adalah bahwa toleransi mensyaratkan interaksi, pertemuan-pertemuan antar beda kelompok dan adanya keterlibatan langsung, bukan segregasi dan pengucilan diri. Toleransi “setengah hati” akan muncul bila pemahaman dan kedekatan dengan kelompok lain minim. Bahkan, tidak adanya pertemuan-pertemuan dan interaksi langsung antar beda kelompok bisa melahirkan rasa enggan untuk terlibat langsung dengan orang lain. Jadi, toleransi bisa bersifat pasif atau aktif, dan pemahaman suatu sekolah berbasis multikultural mesti diarahkan pada toleransi aktif.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *