Oleh: Handi Nuryaman
Pertanian adalah sektor penting dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Tidak hanya dalam kehidupan saja, melainkan juga dalam pembangunan dan perekonomian Hal ini dapat dibuktikan dengan dikenalnya Indonesia sebagai negara agraris. Dengan demikian, sebagai negara agraris, sektor pertanian sudah seharusnya mampu untuk melestarikan sumber daya alam, memberi hidup dan penghidupan, serta menciptakan lapangan pekerjaan (BPS, 2023).
Pada tahun 2018, tercatat terjadinya pertumbuhan ekonomi Indonesia di sektor pertanian, yakni mencapai angka di atas 9%. Bahkan pemerintah mengklaim bahwa pertumbuhan sektor pertanian Indonesia menjadi yang tertinggi dalam 10 tahun terakhir, sehingga membuat sektor pertanian Indonesia dilirik oleh dunia internasional. Selain itu, dapat disinyalir juga bahwa Indonesia kian kompetitif di kancah internasional (BKPM, 2020).
Meskipun demikian, sektor pertanian juga mengalami penurunan. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil sensus pertanian tahun 2013 menunjukkan terjadinya penurunan pelaku usaha pertanian, khususnya petani itu sendiri dibandingkan dengan hasil sensus tahun 2003, yakni sekitar 17% (Ahmad Romadhoni, 2016). Adanya penurunan tersebut menunjukkan bahwa sektor pertanian secara umum sudah dianggap tidak memberikan keuntungan bagi para pelaku usaha pertanian, terutama bagi para petani itu sendiri.
Selain dari permasalahan yang telah disebutkan di atas, pada umumnya, para pelaku usaha pertanian menghadapi permasalahan yang sama di setiap tahunnya. Sudah bukan menjadi rahasia umum, masalah menahun yang kerap dialami pelaku usaha pertanian tersebut tidak jarang menyebabkan kerugian bagi mereka. Terlebih bagi keberlangsungan pelaku usaha pertanian yang berkecimpung membantu pembangunan perekonomian negara di sektor pertanian. Adapun permasalahan tahunan dalam sektor pertanian di antaranya adalah: 1) Pertanian dipandang sebelah mata; 2) Krisis regenerasi petani muda; 3) Rantai niaga yang merugikan petani; 4) Teknik budidaya kurang presisi; 5) Modal bagi petani; dan 6) Alih fungsi lahan (Supriyadi, 2021).
Sejalan dengan pernyataan tersebut di atas, dalam konteks global, harga pangan yang terus meningkat dan produksi yang terbilang flukatif tergantung musim bahkan untuk wilayah-wilayah tertentu memiliki keterbatasan dalam memproduksi menjadi permasalahan tersendiri bagi masyarakat dan pelaku usaha pertanian. Belum lagi ditambah dengan pesatnya peralihan fungsi lahan dari sektor pertanian ke non pertanian serta food ke non food atau bioenergi.
Dalam konteks lokal itu sendiri, rendahnya harga di sektor pertanian seringkali terjadi. Selain itu, terjadinya pertanian yang tidak efisien dan tidak kompetitif dikarenakan adanya penguasaan lahan yang kecil dan terpencar serta terjadinya pengalihan fungsi lahan yang cepat dan luas disebabkan oleh sulitnya untuk memenuhi aspek kualitas, kuantitas, kontinuitas, dan konformitas, tidak menguntungkana, berisiko tinggi, teknologi yang digunakan masih sangat tradisional dan tidak menarik (Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Jawa Tengah, 2018). Beberapa hal tersebut menjadi permasalahan tersendiri bagi para pelaku usaha pertanian yang ada di Indonesia.
Banyak cara yang dilakukan pemerintah demi keberlangsungan sektor pertanian dalam jangka panjang. Sebagai negara yang kebutuhan pokoknya berasal dari sektor pertanian, Indonesia terus berkomitmen menjaga ketahanan pangan nasional sehingga mampu meningkatkan produksi di sektor pertanian khususnya padi secara signifikan dan mencapai swasembada beras. Salah satu upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam menangani permasalahan dan menjaga keberlangsungan sektor pertanian adalah dengan dicanangkannya Sensus Pertanian 2023 (ST2023).
Sensus Pertanian 2023 (ST2023) merupakan bagian integral bagi pelaku usaha pertanian di Indonesia, yang mana pelaksanaannya harus dilakukan dalam beberapa tahapan, baik dalam persiapan maupun pelaksanaannya itu sendiri. Pengadaan sensus menjadi kegiatan rutinitas yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik, penyelenggaraan sensus penduduk, sensus pertanian, dan sensus ekonomi dilakukan 10 tahun sekali.
Selain itu, dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 51 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Statistik disebutkan bahwa waktu penyelenggaraan sensus penduduk adalah pada tahun berakhiran angka 0 (nol), sensus pertanian pada tahun berakhiran angka 3 (tiga), dan sensus ekonomi pada tahun berakhiran angka 6 (enam). Dengan demikian artinya, pada tahun 2023 ini merupakan tahun ketujuh dilakukannya Sensus Pertanian (BPS, 2012).
Sama seperti yang telah dilakukan sebelumnya, tujuan diadakannya Sensus Pertanian 2023 ini adalah yakni untuk menyediakan data struktur pertanian, terutama untuk unit-unit administrasi terkecil kemudian menyediakan data yang dapat digunakan sebagai tolak ukur statistik pertanian saat ini. Sebagai bagian integral bagi pelaku usaha pertanian, Sensus Pertanian 2023 memiliki manfaat yang cukup signifikan, di antaranya untuk memperbaiki data tentang petani di Indonesia secara lengkap yang berimbas pada akan terhimpunnya data petani yang baik dan lengkap sehingga pada akhirnya dapat digunakan sebagai bahan atau acuan untuk menyusun kebijakan bagi pemerintah dalam sektor pertanian.
Dengan demikian, kebijakan yang diambil tersebut benar-benar berdasarkan kebutuhan pelaku usaha pertanian bahkan masyarakat dan bersifat button up sehingga secara otomatis berpengaruh terhadap keberlangsungan sektor pertanian dan/atau keberlangsungan pelaku usaha pertanian di Indonesia. Tidak hanya itu, adanya data riil yang diperoleh melalui Sensus Pertanian 2023 ini juga memungkinkan mampu mengubah paradigma masyarakat terutama generasi muda terhadap sektor pertanian, sehingga dengan demikian Indonesia memiliki regenerasi pelaku usaha pertanian dalam jangka waktu yang panjang.