Oleh: Mun’im Sirry, Associate Professor di University of Notre Dame
Dalam paragraf terakhir tulisan terdahulu (Membuka Pikiran), saya menulis bahwa sebagai konsekuensi sakralisasi versi sejarah tertentu, kita tak lagi mengenal “… bagaimana Ibnu Mas’ud mencibir kerja Zaid menghimpun mushaf, atau ancaman Hajjaj membunuh siapapun yang masih menggunakan mushaf Ibnu Mas’ud. Belum lagi soal perbedaan musahif yang dimiliki para sahabat. Padahal, semua cerita tentang mereka termaktub dalam kitab-kitab utama (ummahatul kutub) yang ditulis oleh ulama-ulama kita terdahulu.”
Ketidaksukaan Ibnu Mas’ud terhadap Zaid bin Tsabit direkam dalam banyak sumber Muslim. Seperti kita tahu, banyak riwayat menyebutkan bahwa setelah komisi penulisan mushaf yang dipimpin Zaid berhasil menyelesaikan tugasnya, Utsman mengeluarkan kebijakan untuk membakar mushaf-mushaf lain yang dimiliki para sahabat. Diriwayatkan, Ibnu Mas’ud menolak menyerahkan mushaf yang dimilikinya.
Salah satu alasan penolakannya ialah karena ia merasa mushaf yang dimilikinya secara otentik didasarkan pada apa yang diajarkan oleh Baginda Rasulullah sendiri. Dalam kitab al-Mustadrak, al-Hakim mencatat bahwa Abu Musa al-Asy’ari dan Hudzaifah bin Yaman membujuknya di Kufah, dan Ibnu Mas’ud bereaksi:
“Demi Allah saya tak akan menyerahkan naskah saya kepada mereka. Rasulullah sendiri yang mengajarkan saya lebih dari 70 surat, dan sekarang saya disuruh menyerahkannya kepada mereka [untuk dimusnahkan]? Demi Allah, saya tak akan lakukan itu!”
Saya kira, ada alasan lain yg bersifat manusiawi, yakni karena Ibnu Mas’ud tidak dilibatkan dalam kerja penting pembukuan al-Quran menjadi mushaf resmi. Menurutnya, Zaid tak pantas memimpin proyek itu. Dicatat oleh al-Dzahabi dalam karya massifnya, Tarikh al-Islam, bahwa Ibnu Mas’ud menyampaikan khutbah sembari berkata: “Simpan mushaf-mushaf yang kalian miliki! Bagaimana mungkin mereka menyuruh saya untuk mengikuti mushaf Zaid bin Tsabit? Saya membaca lebih dari 70 surat langsung dari Rasulullah, sementara Zaid [saat itu] masih bocah.”
Terkait cibirannya tentang Zaid, terdapat beragam versi. Dalam riwayat yang direkam Ibnu Mandhur (baca “Mukhtashar Tarikh DImasyq”), Ibnu Mas’ud menolak mushaf Zaid dan berkata: “Demi Allah, saya sudah masuk Islam saat dia [Zaid] masih sebagai sperma bapaknya yang kafir!” Kemudian dia menyuruh orang-orang Kufah untuk tidak menyerahkan mushaf yang memiliki. Riwayat2 lain dapat dibaca dalam “Tarikah al-madinah al-munawwarah” karya Ibnu Syabbah.
Kita tahu, orang-orang Kufah menggunakan mushaf Ibnu Mas’ud hingga minimal zaman Hajjaj bin Yusuf, gubernur Irak pada pemerintahan khalifah Umayyah kelima, Abdul Malik bin Marwan. Suatu saat saya akan tulis tentang mushaf Ibnu Mas’ud ini dan apa yang membedakannya dari dari mushaf Utsmani.
Adalah gubernur Hajjaj yang melarang orang-orang Kufah menggunakan mushaf Ibnu Mas’ud dan membentuk komisi khusus untuk meresmikan satu mushaf yang wajib dipakai seluruh umat Islam. Tentu saja, Hajjaj tdk memulai dari awal, melainkan berbasis mushaf Utsmani. Saya sudah menulis secara detail kerja komisi dan kebijakan Hajjaj-Abdul Malik ini dalam buku “Rekonstruksi Islam Historis,” dan tak perlu mengulangnya di sini.
Tak ada perdebatan bahwa penetapan “mushaf Utsmani” sebagai satu-satunya al-Quran yang harus diterima umat melibatkan kekuatan politik. Khalifah Utsman secara otoriter memaksa para sahabat menyerahkan mushaf-mushaf mereka untuk dimusnahkan. Walaupun kebijakan itu kontroversial, tapi apa yang dilakukannya bisa dikatakan sebagai “kemestian sejarah” untuk menghindari perpecahan masyarakat Muslim yang baru terbentuk.
Kebijakan serupa diterapkan oleh khalifah Abdul Malik bin Marwan dan gubernurnya Hajjaj bin Yusuf. Hajjaj dikenal sebagai pemimpin keras kepala dan memerintah dgn tangan besi. Dia tak sungkan menggunakan kekerasan untuk memumpas kaum oposisi. Orang-orang Kufah yang masih menggunakan mushaf Ibnu Mas’ud diancam akan dipenggal kepalanya.
DI sinilah para sarjana modern berbeda pendapat: Siapakah yang memiliki aparatur kekuasaan memadai untuk menetapkan sebuah mushaf sebagai kanon yang resmi? Sejumlah sarjana revisionis tak yakin bahwa khalifah Utsman punya kharisma dan kekuasaan politik untuk menentukan dan memaksakan mushafnya.
Utsman bukan tipe pemimpin kharismatik seperti Umar, misalnya. Di zamannya, keretakan politik sudah mulai terlihat menyusul munculnya kota-kota garnisun di luar Madinah yang cenderung independen dari pemerintahan pusat. Kita tahu, Utsman sendiri mati terbunuh di tangan kelompok yang kecewa dari Mesir. Dengan kata lain, Utsman cukup lemah untuk memaksakan mushaf.
Pemimpin yang memiliki aparatur negara yang mampu menyatukan umat saat itu ialah khalifah Abdul Malik bin Marwan. Di bawah kepemimpinan Abdul Malik, seluruh umat Muslim betul-betul berada dalam kendalinya. Kelompok-kelompok oposisi berhasil ditumpas. Pemimpin oposisi di Mekkah, Ibnu Zubair, yang menolak khilafah Umayyah di Damaskus ditaklukan secara militer. Dipimpin Hajjaj, pasukan Abdul Malik menumpas kaum oposisi dan bahkan membunuh Ibnu Zubair secara sadis.
Untuk menegaskan kekuasaannya di tanah kelahiran Islam, Hajjaj memutuskan untuk merombak Ka’bah yang sebelumnya direnovasi oleh Ibnu Zubair. Namun demikian, menurut sejumlah riwayat, ketika Abdul Malik mengunjungi Mekkah untuk berumrah, dia mendengar adanya hadits bahwa bagunan Ka’bah yang dikehendaki Nabi ialah sesuai dengan apa yang dilakukan Ibnu Zubair. Akhirnya, Ka’bah dirombak kembali.
Dengan kekuasaan yang dimiliki, Abdul Malik dan Hajjaj dapat memastikan bahwa apa yang disebut “mushaf Utsmani” itu diterima umat sebagai “textus receptus.” Berbeda dengan Utsman yang kekuasaannya dirongrong sana sini. Tak mengagetkan jika sebagian sahabat bahkan bereaksi negatif terhadap mushaf yang dihasilkan oleh komisi pimpinan Zaid. Ada sahabat menganggap mushaf susunan Zaid tidak lengkap. Aisyah (istri termuda Nabi) menganggap mushaf itu mengandung kesalahan penulisan. Ini dicatat dalam kitab-kitab klasik. Bukan rahasia! (Jika ada gugatan keimanan: Masak al-Quran dianggap tidak lengkap? Saya jawab: Itu bukan pendapat saya. Yang saya katakan adalah “reaksi sebagian sahabat”).
Reaksi negatif tak mungkin terjadi pada masa Abdul Malik dan Hajjaj. Kekuasaan mereka sangat dominan. Ada cukup alasan untuk meyakini bahwa sejak saat itu tak ada yang berani menggunakan mushaf selain yang diresmikan oleh negara. Alasannya satu: ancaman hidup bagi siapapun yang menggunakan mushaf lain, termasuk mushaf Ibnu Mas’ud. Walaupun, perlu dicatat, ada insiden yang melibatkan seorang Syi’ah bernama Ibnu al-Mu’allim pada awal abad ke-5 H/11 M yang ketahuan menyimpan mushaf itu.
Sebuah insiden yang berakhir dengan bunuh-bunuhan. Nanti saya lanjutkan soal mushaf Ibnu Mas’ud ini. Sekarang saya ngoreksi UTS dulu. Jika ada yang ndak sabar nunggu, insiden itu diceritakan oleh Ibn al-Jauzi dalam “al-Muntadham fi tarikh al-muluk wa’l-umam,” sebuah kitab yang jarang dibaca orang tapi sangat penting..
“Ada sahabat menganggap mushaf susunan Zaid tidak lengkap. Aisyah (istri termuda Nabi) menganggap mushaf itu mengandung kesalahan penulisan. Ini dicatat dalam kitab-kitab klasik.
Dari pernyataan ini, kami menangkap adanya perbedaan yang sangat nyata atas tersusunnya mushaf Sususnan Zaid , saya yang awam ini tidak isa memberikan argumen lebih karena minimnya data yang saya miliki untuk menunjang pembahasan topik yang terkait Mushaf susunan Zaid.
“Mushaf Zaid” adalah istilah yang merujuk pada salinan Al-Quran yang dikumpulkan dan diedit oleh Zaid bin Thabit, seorang sahabat Nabi Muhammad saw. pada masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan. Kontroversi terkait “Mushaf Zaid” berkaitan dengan pertanyaan apakah teks Al-Quran yang ada saat ini merupakan teks yang sama persis dengan teks yang dikumpulkan oleh Zaid atau ada perubahan atau variasi dalam teks tersebut.
Beberapa ulama dan peneliti Islam meyakini bahwa Mushaf Zaid adalah teks yang akurat dan lengkap dari Al-Quran, dan mereka percaya bahwa teks Al-Quran yang kita miliki saat ini telah dijaga dengan baik dari perubahan atau penyimpangan. Namun, ada juga beberapa ulama dan peneliti yang berpendapat bahwa terdapat variasi kecil dalam teks Al-Quran yang ada saat ini dan beberapa bagian mungkin telah diubah atau dihapus pada masa pemerintahan Utsman.
Namun, mayoritas ulama dan peneliti Islam yang terkemuka sepakat bahwa teks Al-Quran yang ada saat ini adalah teks yang akurat dan lengkap dari Al-Quran, yang telah dijaga dengan sangat baik dari perubahan atau penyimpangan sejak masa Rasulullah saw. dan sahabat-sahabatnya. Oleh karena itu, terlepas dari beberapa kontroversi yang mungkin muncul terkait dengan Mushaf Zaid, mayoritas umat Muslim percaya bahwa Al-Quran yang ada saat ini adalah kitab suci yang otentik dan berasal dari Allah swt. melalui wahyu kepada Nabi Muhammad saw.
“Ada sahabat menganggap mushaf susunan Zaid tidak lengkap. Aisyah (istri termuda Nabi) menganggap mushaf itu mengandung kesalahan penulisan. Ini dicatat dalam kitab-kitab klasik.
Dari pernyataan ini, kami menangkap adanya perbedaan yang sangat nyata atas tersusunnya mushaf Sususnan Zaid , saya yang awam ini tidak isa memberikan argumen lebih karena minimnya data yang saya miliki untuk menunjang pembahasan topik yang terkait Mushaf susunan Zaid.
“Mushaf Zaid” adalah istilah yang merujuk pada salinan Al-Quran yang dikumpulkan dan diedit oleh Zaid bin Thabit, seorang sahabat Nabi Muhammad saw. pada masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan. Kontroversi terkait “Mushaf Zaid” berkaitan dengan pertanyaan apakah teks Al-Quran yang ada saat ini merupakan teks yang sama persis dengan teks yang dikumpulkan oleh Zaid atau ada perubahan atau variasi dalam teks tersebut.
terlepas dari beberapa kontroversi yang mungkin muncul terkait dengan Mushaf Zaid, mayoritas umat Muslim percaya bahwa Al-Quran yang ada saat ini adalah kitab suci yang otentik dan berasal dari Allah swt. melalui wahyu kepada Nabi Muhammad saw.
Tak ada perdebatan bahwa penetapan “mushaf Utsmani” sebagai satu-satunya al-Quran yang harus diterima umat melibatkan kekuatan politik. Khalifah Utsman secara otoriter memaksa para sahabat menyerahkan mushaf-mushaf mereka untuk dimusnahkan. Walaupun kebijakan itu kontroversial, tapi apa yang dilakukannya bisa dikatakan sebagai “kemestian sejarah” untuk menghindari perpecahan masyarakat Muslim yang baru terbentuk.
Kebijakan serupa diterapkan oleh khalifah Abdul Malik bin Marwan dan gubernurnya Hajjaj bin Yusuf. Hajjaj dikenal sebagai pemimpin keras kepala dan memerintah dgn tangan besi. Dia tak sungkan menggunakan kekerasan untuk memumpas kaum oposisi. Orang-orang Kufah yang masih menggunakan mushaf Ibnu Mas’ud diancam akan dipenggal kepalanya.
DI sinilah para sarjana modern berbeda pendapat: Siapakah yang memiliki aparatur kekuasaan memadai untuk menetapkan sebuah mushaf sebagai kanon yang resmi? Sejumlah sarjana revisionis tak yakin bahwa khalifah Utsman punya kharisma dan kekuasaan politik untuk menentukan dan memaksakan mushafnya.
Utsman bukan tipe pemimpin kharismatik seperti Umar, misalnya. Di zamannya, keretakan politik sudah mulai terlihat menyusul munculnya kota-kota garnisun di luar Madinah yang cenderung independen dari pemerintahan pusat. Kita tahu, Utsman sendiri mati terbunuh di tangan kelompok yang kecewa dari Mesir. Dengan kata lain, Utsman cukup lemah untuk memaksakan mushaf.