Mun'im Sirry

Oleh: Mun’im Sirry, Associate Professor di University of Notre Dame

Ketika melihat beberapa pertanyan tentang keberadaan mushaf ‘Ali bin Abi Thalib dan apakah Syi’ah mempunyai al-Quran berbeda, saya menulis overview tentang mushaf imam ‘Ali. Namun, sebelum saya betul-betul menulis overview itu, sudah ada yang menuduh saya akan menyebarkan keraguan terhadap mushafnya kaum Muslimin. Orang seperti ini tidak bertujuan berdiskusi. Ya hanya suka nuduh!

Selama terlibat dalam berbagai kontroversi, saya melihat pola yang sama: Orang yang tak bisa berargumen secara solid biasanya suka melemparkan tuduhan, menyesat-sesatkan, bahkan menggunakan bahasa preman untuk menyebarkan kebencian. Reaksi pertama saya melihat tuduhan seperti komentar tadi ialah kenapa imannya begitu rapuh terancam dengan pembahasan tentang mushaf ‘Ali. Sebegitu lemahkah imannya sehingga merasa terancam bahkan sebelum saya menulis apapun?

Pola lain yang saya pelajari dari berbagai kontroversi ialah, biasanya, orang yang cepat merasa terancam ini berasal dari golongan yang merasa pemahaman Islamnya paling benar sendiri. Karena merasa memiliki kebenaran, maka mereka menyalahkan dan menyesatkan siapapun yang berbeda. Jangankan orang seperti saya, mereka yang merasa paling benar akan menyesatkan senior seperti Prof. Quraish Shihab atau Kiai Said Agil. Ini memang ironi! Merasa paling benar, tapi takut pada pandangan yang berbeda dengannya. Kalau betul merasa paling benar, ngapain takut.

Ketakutan atau merasa terancam dgn pembincangan tentang mushaf imam ‘Ali memperlihatkan miskinnya bacaan. Sebab, mushaf ini sudah dibicarakan oleh banyak ulama Muslim hingga sekarang. (Orang yang sinis, biasanya, juga bilang bahwa apa yang saya tulis tidak baru. Emang, siapa yang bilang baru?) Hampir bisa dipastikan, para ulama Muslim yang menulis tentang sejarah al-Quran atau mushaf akan menyinggung soal mushaf imam ‘Ali ini.

Prof. Abdul Shabur Syahin dalam bukunya “Tarikh al-Quran,” misalnya, merasa perlu berbicara panjang lebar tentang mushaf imam ‘Ali dibandingkan mushaf2 lain, seperti mushaf Ibnu Mas’ud atau Ubay bin Ka’ab. Prof. Syahin merupakan seorang ulama konservatif di Mesir, yang berkontribusi menggiring opini publik melawan pemikiran almarhum Nasr Hamid Abu Zayd, hingga yang disebut terakhir dibawa ke pengadilan.

Syahin menghabiskan 18 halaman membicarakan mushaf ‘Ali. Seperti diduga, yang dilakukannya ialah hendak meminimalkan signifikansi mushaf ini dan menegaskan keunggulan mushaf ‘Utsman. Saya akan kembali soal ini di bagian akhir nanti. Yakni, bagaimana pengaruh sektarianisme dalam wacana superioritas mushaf, terutama di kalangan Sunni dan Syi’ah.

Yang ingin ditegaskan di sini ialah bagaimana mushaf imam ‘Ali disebutkan dalam sumber-sumber Muslim, baik Syi’ah maupun Sunni. Riwayat-riwayat yang menyebutkan ‘Ali menulis mushaf setelah baginda Rasulullah wafat itu direkam dalam sumber Syi’ah dan Sunni dengan berbagai versi. Sekadar untuk menyebut beberapa: “Ushul al-Kafi” oleh Kulaini, “tafsir al-Qummi,” “Majma’ al-bayan” oleh Tabarsi (Syi’ah); “Kitab al-mashahif” oleh Ibn Abi Dawud, “al-Burhan” oleh Zarkasyi, “al-Iqthan” oleh Suyuti (Sunni). Riwayat paling detail dapat ditemukan dalam “Tarikh al-Ya’qubi.”

Dikisahkan, ketika Rasulullah meninggal, ‘Ali tidak terlibat dalam percekcokan soal kepemimpinan pasca-Nabi, yang akhirnya berakhir dengan pengangkatan Abu Bakar. ‘Ali sibuk mengurus jenazah Nabi, dan setelah itu fokus mengumpulkan al-Quran. Ada beragam riwayat tentang inisiatif ‘Ali mengumpulkan al-Quran ini, baik riwayat yang dituturkan sendiri atau dinarasikan orang lain.

Yang dituturkan sendiri, misalnya, ‘Ali mengatakan tidak akan melepaskan jubahnya hingga dia mengumpulkan al-Quran dalam sampul. Riwayat lain melibatkan Abu Bakar yang, karena tidak melihat ‘Ali, menyuruh orang supaya ‘Ali menghadap kepadanya. Abu Bakar menanyakan kenapa ‘Ali tidak memberikan bai’at. “Kamu tidak suka dengan kepeminpinan saya ya?” ‘Ali menceritakan bahwa dia disibukkan oleh aktivitas menghimpun al-Quran di rumah Nabi.

Dalam berbagai riwayatkan disebutkan, mushaf yang dihimpun oleh ‘Ali didasarkan pada urutan turunnya surat-surat al-Quran. Riwayat ini disebutkan oleh banyak ulama, seperti Ibn Sa’ad, Ibn Jizzi, atau Suyuti. Namun, melihat susunan mushaf ‘Ali yang dirangkum oleh Ya’qubi tidak tampak bahwa mushaf imam ‘Ali disusun berdasarkan urutan waktu.

Dicatat dalam Tarikh Ya’qubi, mushaf ‘Ali dibagi dalam 7 bagian dan masing-masing bagian terdiri beberapa surat. Misalnya, bagian pertama terdiri dari surat al-Baqarah, Yusuf, al-‘Ankabut,al- Rum, Luqman, dan seterusnya; bagian kedua terdiri dari Ali Imran, Hud, al-Hijr, al-Ahzab, dan seterusnya; bagian ketiga terdiri dari surat al-Nisa’, al-nahl, al-mu’minun, Yasin, dan seterusnya dan seterusnya.

Mereka yang mempelajari mushaf-mushaf non-Utsmani tidak akan kaget dengan ini. Sebab, urutan surat-surat dalam berbagai mushaf memang berbeda. Misalnya, dalam mushaf Ibnu Mas’ud tidak terdapat surat al-Fatihah dan 2 surat terakhir. Juga, urutan surat-suratnya berbeda dengan apa yang dikenal dgn “rasm ‘Utsmani.”

Reaksi para ulama pra-modern terhadap mushaf Ibn Mas’ud cukup beragam. Ada yang merangkainya dalam lingkup perbedaan pendapat apakah susunan surat dalam al-Quran itu berdasarkan ketentuan Ilahi atau hasil ijtihad. Ada juga yang bersikap dismisif. Misalnya, al-Razi mengatakan tak mungkin mushaf Ibn Mas’ud tidak mencakup surat al-Fatihah dan dua surat terakhir. Riwayat yang menyatakan demikian pasti batil (naqlun bathilun).

Terlepas dari semua itu, keberadaan mushaf ‘Ali juga menjadi perbincangan di kalangan ulama. Ulama-ulama Sunni umumnya menganggap tidak ada karena ‘Ali sendiri mengakui mushaf ‘Utsman. Riwayat yang beredar luas di kalangan ulama Sunni ialah bahwa ‘Ali pernah meng-copy mushaf ‘Utsman ketika ia berada di pucuk pimpinan (menggantikan ‘Utsman yang terbunuh).

Yang menarik ialah kesaksian Ibnu Nadim, seorang bibliografer, yang mengaku pernah melihat penggalan mushaf imam ‘Ali. Dalam kitabnya, al-Fihrist, ia mengatakan melihatnya di kediaman Abu Ya’la Hamzah al-Hasani dengan tulisan tangan imam ‘Ali sendiri. Katanya, “Banu Hasan mewarisi penggalan mushaf ‘Ali tersebut.” Namun demikian, pengakuan Ibnu Nadim ini sulit diverifikasi karena dia hidup lebih dari dua abad setelah ‘Ali.

Perlu juga dicatat, di sebagian kalangan ulama Syi’ah ada keyakinan bahwa naskah imam ‘Ali, yang biasanya disebut “jami’ah,” masih tersimpun. Keyakinan ini didasarkan pada pernyataan imam Ja’far al-Shadiq yang direkam dalam berbagai sumber Syi’ah. “Jami’ah” (dan juga “Jifr”) diriwayatkan ditulis di atas kulit binatang paling bagus. Ini keyakinan yang faktanya tak ada orang yang bisa menunjukkan di mana keberadaannya sekarang. Buktinya, kaum Syi’ah sepanjang masa menggunakan mushaf ‘Utsmani.

Keyakinan umum lain di kalangan Syi’ah ialah bahwa mushaf imam ‘Ali ini bukan hanya mushaf pertama yang ditulis setelah Nabi wafat, melainkan juga memiliki sejumlah keunggulan. Misalnya, mushaf itu disertai catatan tentang “asbab nuzul” (sebab turunnya wahyu) dan penjelasan “nasikh mansukh” (ayat-ayat yang diabrogasi). Disebutkan pula, mushaf imam ‘Ali didasarkan pada bacaan asal yang diturunkan pada Nabi. Makanya, kata ulama-ulama Syi’ah, seandainya yang diterima adalah mushaf ‘Ali, niscaya tidak akan ada perbedaan bacaan. Perlu diketahui, ulama-ulama Syi’ah umumnya menolak perbedaan qira’at (bacaan) yang diakomodasi oleh kalangan Sunni.

Pertanyaan yang menarik dimunculkan ialah: Kenapa mushaf ‘Ali atau peran ‘Ali dalam pengumpulan al-Quran lenyap dalam narasi kaum Sunni? Walaupun, tentu saja, pertanyaan ini dapat dijawab dari berbagai perspektif (termasuk soal konflik kepemimpinan di awal sejarah Islam), salah satu jawabannya terkait dgn kepentingan ideologis atau sektarianisme. Sementara kalangan Syi’ah mengagung-agungkan mushaf imam ‘Ali, kalangan Sunni berusaha meminimalkannya.

Ini mengingatkan saya pada kontroversi besar di Mesir yang melibatkan penulis Sunni yang mempertanyakan kenapa nama ‘Ali tak terdengar dalam sejarah pengumpulan al-Quran pada masa Abu Bakar dan ‘Utsman. Penulis itu bernama Mahmud Abu Rayyah dalam bukunya yang sangat kontroversial karena mempersoalkan hadits mutawatir (katanya, “ndak ada itu hadits mutawatir!), berjudul “Adhwa’ ‘ala al-sunnah al-muhammadiyah.” Menarik dicatat, buku ini diberi kata pengantar oleh Thaha Husain, yang juga tak sepi dari kontroversi (ide memang tak lepas dari kontroversi!).

Abu Rayyah mengaku gagal paham bagaimana mungkin peran imam ‘Ali tak terlihat dalam sumber-sumber Muslim awal. Justeru yang disebut-sebut ialah orang-orang yang derajat pengetahuannya di bawah level ‘Ali. Apa gerangan yang menyebabkan ‘Ali disingkirkan dari proses pengumpulan al-Quran? Padahal, ‘Ali merupakan penulis wahyu yang memiliki kedekatan khusus dengan Nabi.

Reaksi terhadap karya Abu Ruyyah luar biasa negatif. Sejumlah buku ditulis untuk mengutuknya. Serangan terhadapnya bersifat personal. Musthafa Siba’i, misalnya, menuduh Abu Rayyah dengan segala sifat tercela yang tak pantas dilancarkan oleh seorang ulama. Dia merasa tak cukup dengan membalas karya Abu Rayyah dengan karya tandingan, melainkan menghakiminya dengan berbagai cercaan. Anehnya, ternyata reaksi bergaya preman dicontoh banyak orang. Padahal, jika tidak setuju, ya cukup tunjukkan kelemahan pandangan Abu Rayyah secara argumentatif.

Saat menulis ini, saya coba cari di Google tulisan tentang Abu Rayyah oleh kawan-kawan di Indonesia, ternyata saya temukan beberapa artikel yang menelitinya cukup serius. Sebagian besar menyorot soal pandangannya tentang hadits, termasuk peran Abu Harairah. Saya cukup gembira sebagian penulis di Indonesia melihat kontroversi Abu Rayyah secara tenang dan konstruktif. Sayang tak ada yang menyentuh pandangannya tentang wahyu dan pengumpulan al-Quran.

Hemat saya, pertanyaan Abu Rayyah soal tersembunyinya peran ‘Ali dlm proyek mushaf al-Quran layak direnungkan. Kita boleh tidak setuju dengan jawabannya. Merenungkan pertanyaan tak akan mengerus iman kita. Sebaliknya, saya yakin, mencari jawaban atas pertanyaan tersebut akan menyadarkan kita betapa persoalan2 ideologis dan sektarian tak bisa dinafikan untuk menjelaskan kenapa satu versi sejarah keluar sebagai pemenang di kemudian hari (won the day)! Kawan-kawan yang sudah membaca “Rekonstruksi Islam Historis” tak akan merasa asing dengan pernyataan ini. Insya Allah, poin ini saya elaborasi dalam status lain.

Nah, sekarang, apakah setelah membaca status ini iman Anda menjadi lemah? I don’t think so.

28 thoughts on “Mushaf ‘Ali bin Abi Thalib”
  1. Membandingkan Alquran dengan yang kita baca saat ini dengan Alquran yang dibaca oleh orang dari negara lain, apabila sama berarti Alquran ini lah yang menjadi rujukan untuk umat saat ini.. terlepas dari mana mereka mendapatkannya, namun inilah yang menyatukan umat islam, jangan sampai kita cekcok dan saling tuduh menuduh mengangkat kembali masa lalu. Bukan berarti kami tidak menyukai versi syiah, namun kalau semua versi dipakai semua, kemungkinan Alquran yang dijadikan rujukan umat islam tidak akan bisa menjadi pedoman umat karena setiap golongan akan merebutkan dan membenarkan versi nya tersendiri.

    1. mushaf yg ada di indonesia itu yg rasm usmani tu yg mna saja?
      kadang penulisannya berbeda walo bacanya sama,,
      kalo saya ikut saja yg sudah ada,,dibaca rutin,dipahami,diamalkan semampunya,masalah iman hanya Allah yg tahu.

    2. alquran merupakan kitab suci umat islam yg tak pernah tergantikan dan isinya pun tetap sama…inilah salah satu mukjizat yg paling besar dan pegangan hidup kita

    3. Sebagai umat nabi saya tetap mengimani bahwa Ali ibn Abi Thalib ini termasuk sahabat yang banyak mengetahui langsung terkait proses turunya Al-Qur’an. Hal ini dikarenakan beliau sejak kecil telah banyak berinteraksi dengan Rasulullah, baik pada saat Nabi di Makkah maupun Madinah. Sehingga potensi Ali untuk menyerap ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an lebih besar dari pada sahabat lainya.Diriwayatkan dari Ibn Abd al-Barr, bahwasanya Ali ibn Abi Thalib juga termasuk sahabat yang mengumpulkan Al-Qur’an pada masa Nabi. Bahkan, dalam sejumlah riwayat disebutkan bahwa Ali ibn Abi Thalib adalah orang pertama dari kalangan sahabat yang mengumpulkan Al-Qur’an, berdasarkan perintah Nabi. Sehingga, tidak heran jika dalam sebuah riwayat, Ali ibn Abi Thalib berkata: “Wallahi, tidak ada ayat yang turun kecuali aku telah mengetahui berkenaan dengan apa ayat tersebut, dimana ayat tersebut diturunkan, dan untuk siapa ayat tersebut diturunkan”.
      Tidak diketahui secara pasti kapan Ali ibn Abi Thalib mengumpulkan salinan Al-Qur’an dalam bentuk mushaf. Namun, dalam sebuah riwayat yang dikutip oleh al-Zanjani menyebutkan, tatkala Nabi wafat, Ali ibn Abi Thalib bersumpah untuk mengumpulkan Al-Qur’an. Atas sumpah tersebut, Ali kemudian mengurung diri selama tiga hari untuk menulis Al-Qur’an secara kronologis berdasarkan hafalannya. Terdapat juga pendapat yang mengatakan jika proses pengumpulan mushaf Ali ibn Abi Thalib ini dilakukan selama enam bulan pasca Nabi wafat.

      1. setahu saya.. kita ini ahlussunnah wal jamaah, jangan mau dikotori pemahaman syiah yang ditunggagi oleh yahudi..banyak imam dalam syiah sejatinya adalah sunni.. termasuk Ali bin abi tholib hasan, husain. hanya bebrapa yang memang syiah..
        klo ada yang merasa syiah kembalilah ke jalan yang benar. jadilah muslim yang sesungguhnya. atau pindah ke israel sana jadilah yahudi yang sebenarnya.. jangan jadi pengacau

  2. Al-Qur’an adalah salah satu mukjizat nabi kita yg terbesar,dari dulu sampai sekarang yg tidak tergantikan,,,bagi umat Islam jangan sampai terpecah belah karena perbedaan pendapat..

  3. Sebenarnya mengenai penulisan al quran para sejarawan menemukan 3 pendapat besar dalam penempatan surat2 dalam al quran. Kami singakat saja untuk pendapat ke tiga adalah,
    Pendapat ketiga merupakan negasi dari kedua pendapat tersebut. Pendapat ini cenderung menyatakan bahwa seluruh susunan surah dalam mushaf al-Quran adalah bersifat ijtihâdi dan bukan tauqîfî. Pendapat ini diketahui muncul dari beberapa ulama besar seperti Malik bin Anâs (w. 179 H.), al-Qâdhi Abu Bakar al-Bâqillâni, Abu al-Husain Ahmad bin Fâris.

    Pendapat ketiga ini berpedoman pada dalil rasio dengan melihat fenomena perbedaan penulisan dan urutan mushaf di masa sahabat. Banyak mushaf sahabat yang tidak sesuai dengan mushaf versi Utsman bin ‘Affân. Misalnya adalah, mushaf Ali bin Abi Thalib yang mengurutkan surat-suratnya berdasarkan kronologi turunnya surah (tartîb nuzûli).
    Kemudian ada juga mushaf lain seperti Mushaf Ibnu Mas’ud, Mushaf Ubay bin Ka’b, mushaf Ibnu ‘Abbâs, dsb. Jika seandainya urutan tersebut adalah tauqîfî, niscaya tidak akan terjadi perbedaan susunan mushaf di kalangan sahabat, karena generasi inilah generasi yang langsung menyaksikan dan mengetahui dinamika kehidupan masa Nabi.
    JADI MASALAHNYA BUKAN HANYA SAYIDINA ALI YG PUNYA MUSHAF, TP para sahabat lainpun punya mushaf sendiri. Inilah yg seharusnya kita belajar dari para sahabat nabi, walaupun punya kedekatan dengan nabi mereka tidak mengedepankan ego mereka untuk hanya memilih mushaf mereka, justru mereka memasrahkan mempercayai kepada kholifah waktu itu, yakni Utsman bin affan. Demi terjalinya kondisi kestabilitas keamanan nasional .

    Begitalah perbedaan pandangan para ulama mengenai surat-surat al-Quran yang perlu kita ketahui untuk menambah khazanah keilmuan kita tentang al-Quran.

  4. Mushaf Ali bin Abi Thalib adalah sebuah naskah yang konon dikumpulkan oleh Ali bin Abi Thalib, yang merupakan sepupu dan menantu Nabi Muhammad SAW. Ada beberapa pertanyaan yang sering ditanyakan tentang keberadaan mushaf ini:

    Apakah mushaf Ali bin Abi Thalib benar-benar ada?
    Ada beberapa sumber sejarah yang menyebutkan tentang keberadaan mushaf Ali bin Abi Thalib, tetapi keabsahannya masih diperdebatkan oleh para ulama. Beberapa ulama meyakini bahwa mushaf ini pernah ada, tetapi sudah hilang atau rusak seiring berjalannya waktu. Namun, mayoritas ulama Sunni dan Syiah tidak mengakui keberadaan mushaf ini.

    Apakah Syiah memiliki Al-Quran yang berbeda dengan Sunni?
    Tidak, Syiah dan Sunni memiliki Al-Quran yang sama. Keduanya menggunakan mushaf yang sama dan tidak ada perbedaan dalam isi atau teks Al-Quran. Namun, ada perbedaan dalam pandangan dan penafsiran atas beberapa ayat dalam Al-Quran, yang mungkin menjadi penyebab terjadinya perbedaan pendapat antara Syiah dan Sunni dalam beberapa masalah.

    Apakah Syiah mempercayai bahwa Al-Quran lengkap hanya terdapat dalam mushaf Ali bin Abi Thalib?
    Tidak, Syiah tidak mempercayai bahwa Al-Quran hanya lengkap terdapat dalam mushaf Ali bin Abi Thalib. Syiah mengakui Al-Quran yang sama dengan Sunni dan menganggap mushaf Ali bin Abi Thalib sebagai salah satu sumber sejarah yang dapat dipelajari untuk memahami ajaran Islam, tetapi tidak sebagai mushaf Al-Quran yang sah.

  5. Nama: RUSDI
    NIM : 2281130303
    KELAS: A7

    Membandingkan Alquran dengan yang kita baca saat ini dengan Alquran yang dibaca oleh orang lain bahkan negera lain, bila sama tidak ada yg berbrda berarti Alquran ini lah yang menjadi rujukan atau pedoman umat islam. terlepas dari mana mereka mendapatkannya, namun inilah yang menyatukan umat islam, jangan sampai kita ribut dan saling menuduh mengangkat kembali masa lalu. Bukan berarti tidak menyukai versi syiah, Alquran yang dijadikan rujukan umat islam tidak akan bisa menjadi pedoman umat islam jika setiap golongan membenarkan versi nya tersendiri.

  6. Pertama saya sebagai orang awam, tentu mempunyai pendapat yang kurang akurat karena tidak memiliki bukti data yang mendukung terkait “Mushaf ‘Ali” secara lengkap dan dapat dipertanggungjawabkan kesahehannya. Disini saya hanya ingin menyampaikan bahwa kita sudah masuk di generasi yang sangat jauh jaraknya dari masa Nabi dan para sahabat. Terkait pendapat saya kenapa peran Áli dalam pengumpulan “Mushaf ‘Al-Qurán” seperti di sembunyikan dalam tanda kutip, ini jelas menjadi topik besar di Era sekarang. Kita ketahui bahwa “Saya (Rasulullah) adalah gudangnya ilmu, dan Ali adalah pintunya ilmu.” Demikian salah satu hadits populer perihal kelebihan Sayyidina Ali dari sahabat yang lainnya. Ia menjadi sahabat pertama yang masuk Islam dari kalangan anak kecil, sekaligus menjadi suami dari putri Rasulullah, Sayyidah Fatimah az-Zahra.
    Sumber: https://islam.nu.or.id/sirah-nabawiyah/mengenal-khulafaur-rasyidin-dan-masa-kepemimpinannya-
    Semoga ada jalan kebenaran yang bisa menyelesaikan dan membawa rahmah bagi umat Islam…Aamiin.

  7. Nama: Rusdi
    NIM: 228113030
    Kelas:A7
    Membandingkan Alquran dengan yang kita baca saat ini dengan Alquran yang dibaca oleh orang lain bahkan negera lain, bila sama tidak ada yg berbrda berarti Alquran ini lah yang menjadi rujukan atau pedoman umat islam. terlepas dari mana mereka mendapatkannya, namun inilah yang menyatukan umat islam, jangan sampai kita ribut dan saling menuduh mengangkat kembali masa lalu. Bukan berarti tidak menyukai versi syiah, Alquran yang dijadikan rujukan umat islam tidak akan bisa menjadi pedoman umat islam jika setiap golongan membenarkan versi nya tersendiri.

  8. Menurut saya terlepas dari mana kita memperoleh al quran dari negara mana kita berasal kita tak bisa saling menyalahkan versi yang seseorang yakini karena itu hak mereka
    saat kita saling menyerang dengan menyakini versi yang kita anut benar akan terjadi perpecahan,sementara al quraan ada untuk menjadi pedoman,patokan dan pencerahan serta pemersatu perbedaan

  9. Iman seseorang setiap hari pasti akan naik -turun. Bukan karena setelah membaca statmen tersebut.

  10. Walaupun berbeda-beda pendapat kemurnian dan keaslian Al-Quran akan tetap terjaga oleh Allah SWT, jadi kita boleh meyakini apa yang kita yaqini

  11. Dan Al-Qur’an merupakan rujukan sumber hukum utama,yg harus kita pegang,,,karena Alquran penyempurna kitab-kitab dan mushaf para nabi terdahulu….

  12. Menurut saya Ini adalah pembahasan di luar ranah manusia era modern saat ini karena kita hidup jauh dari waktu jaman kenabian, jadi jika ada perbedaan beberapa bagian dari Al’quran yg harus kita patuhi adalah Al’quran yg jadi pedoman kita saat ini dan tetap menjaga toleransi dari golongan lain yg berpedoman dengan Al Qur’an yg sedikit berbeda dengan kita.
    Dan sebagai umat muslim sudah sepantasnya kita turut menjaga Al-Qur’an serta mengamalkannya. Dengan adanya perbedaan tersebut saya meyakini tentang keindahan suatu perbedaan yang semoga bisa menguatkan iman kita .

  13. terimakasih atas ilmu ya. memberikana kami pemahaman selain mushaf usmani ternyata ada mushaf ali dan yang lainya. tiap mushaf memiliki susunan tersendiri.

  14. sebagai orang awam yang pengetahuannya sangat kurang terhadap sejarah peradaban islam. tapi saya pernah dengar sejarah bahwa sayyidina ali bin abi tholib Dia sangat mencintai ilmu, cerdas, dan sikapnya sederhana. menjadi Generasi terbaik umat. dari situ menurut saya sedikit pantas untuk direnungkan peran Ali Bin abi tholib tak terlihat dalam sumber-sumber Muslim awal. Justru yang disebut-sebut ialah orang-orang yang derajat pengetahuannya di bawah levelnya.

  15. Insyaallah setelah membaca tulisan diatas iman saya semakin kuat. karena saya berpandangan bahwa kuncinya kita hidup didunia ini adalah menjalankan perintah allah dan menjahui larangannya.

  16. Menurut saya yang masih sedikit pengetahuan tentang hal Mushaf. Alqur’an yg saat ini kita pakai merupakan mushaf yang sudah umum digunakan rujukan para ulama sejak zaman khalifah sampai sekarang. Sedangkan mushaf Ali khawatir ada pengakuan dari kelompok Syiah, tapi bukan berarti kami tidak menyukai Syiah.
    Diharapkan umat Islam dapat hidup bersatu berpedoman pada Alqur’an yang kita gunakan sekarang.

  17. Abu Rayyah menilai, bahwa, awal persahabatannya
    dengan Nabi memang benar-benar dalam menampakan hakekat
    asal usulnya, tetapi tidak bisa dikatakan bahwa dia menemani
    Rasul itu atas dasar kecintaan dan hidayah sebagaimana para
    sahabat yang lain dari kalangan muslimin dalam menggauli
    Rasul.
    Abu Rayyah menilai, bahwa, awal persahabatannya
    dengan Nabi memang benar-benar dalam menampakan hakekat
    asal usulnya, tetapi tidak bisa dikatakan bahwa dia menemani
    Rasul itu atas dasar kecintaan dan hidayah sebagaimana para
    sahabat yang lain dari kalangan muslimin dalam menggauli
    Rasul.
    dalam sejarah dan beberapa karya yang menyatakan kebenaran itu semua tidak perlu lah mendengarkan apa yang di anggap pengetahuan orang yang belum tentu pengetahuannya lebih ataupun perbedaan pendapat.

  18. sebagai pemeluk agama islam al qur’an Sebagai pedoman hidup, Alquran adalah tuntunan bagi seluruh umat manusia. Tuntunan adalah tuntunan agama atau hukum Islam, yaitu aturan yang mengatur dunia dan keselamatan hidup di masa yang akan datang yang merupakan arah jalan yang lurus.

  19. Mushaf Ali adalah naskah kuno Al-Qur’an yang dikumpulkan oleh Ali bin Abi Thalib. Ali adalah salah satu kolektor Al-Qur’an pertama dan telah mengatur ayat menurut urutan wahyu mereka. Sumber-sumber Syiah menyatakan bahwa setelah kematian Muhammad, Ali menawarkan kodeksnya kepada tim pemerintah yang bertanggung jawab atas koleksi Quran, tetapi tidak disambut baik.Sungguh, keberadaan sejarah dari naskah kuno ini tertentu, ia tidak tersedia lagi tidak seperti mushaf sahabat nabi lainnya.[2] Sementara, beberapa kelompok Syiah percaya dalam perbedaan naskah kuno ini dengan Al-Qur’an, banyak ulama Syiah dan cendikiawan Alquran tidak setuju dengan mereka

  20. Mushaf Al Quran yang beredar di Indonesia sekarang kebanyakan diambil dari Mushaf Utsmani qiraat imam Hafs kenapa demikian karena Ulama ulama pendahulu kita sudah meneliti dengan sangat teliti bahwa Al quran mushaf Ustmani lah yang cocok di sebarkan dinegeri kita

  21. Semua sahabat nabi adalah orang-orang yang secara langsung menerima semua yang diajarkan Rosulullah SAW,maka apapun yang disampaikan oleh beliau para sahabataka sudah terjamin kebalikannya dan tidak ada keraguan samasekali, oleh karena itu semua mushaf baik Mushaf Ali ataupun Mushaf Utsmani harus kita imani kebenarannya.

  22. Perbedaan pendapat akan selalu ada dengan berbagai dinamika serta latar belakang satu pendapat yang berbeda dengan pendapat lain, terkait tentang mushaf ali dan peran beliau dalam pengumpulan mushaf tentu kita akan mengikuti pendapat mayoritas ulama dalam mensikapinya bukan dalam arti menyalahkan pendapat lain akan tetapi sebagai bentuk pertanggung jawaban secara akademis yang didasarkan pada sumber yang kuat.

  23. Sebagai umat Islam sudah sepantasnya kita menjaga dan mengamalkan isi dari kitab suci Al-Qur’an. Perbedaan pendapat ataupun penafsiran yang berbeda itu sudah menjadi sifat manusia yang memang pada hakekatnya cenderung merasa paling benar, tapi itu bukan berarti membuat kita terpecah dengan pemahaman masing-masing. Pada dasarnya Al-Qur’an adalah pedoman hidup umat Islam didunia ini, yang tentunya berisi semua kebaikan dan bagaimana seharusnya manusia itu dengan manusia dan manusia itu sendiri dengan penciptanya ,yang pada akhirnya semua perbuatan atau tindakan manusia itu mempunyai pertanggung jawaban nantinya. Jadi perbedaan pendapat ataupun tafsiran manusia sudah pastilah berbeda-beda yang tidak bisa dipungkiri dengan adanya situasi dan kondisi dimana manusia itu berada
    .dengan kata lain dimana setiap orang ada jamannya dan setiap jaman ada orangnya.
    .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *