Oleh: Muhammad Rodlin Billah, Doktor Optics and Photonics di Karlsruher Institut für Technologie (KIT), Jerman
Saya ingin menyampaikan terima kasih atas tulisan dan analisis Prof. Hadi Susanto yang sangat menarik ini, Dengan kapasitas saya yang minim soal ini, mohon izin ikut berkomentar, Prof. Mohon koreksinya.
Pertama, Soal Penyebab Utama Kemunduran Sains dalam Dunia Islam.
Ada sebuah paper soal topik serupa yang sungguh menarik untuk dibaca keseluruhannya, termasuk catatan kakinya: Religion and the Rise and Fall of Islamic Science oleh E. Chaney (2016), https://scholar.harvard.edu/files/chaney/files/paper.pdf, serta lampirannya: https://oconnell.fas.harvard.edu/…/files/appendix.pdf.
Terutama bagi yang sangat ahli dalam bidang matematika, tentu sangat ditunggu pandangan kritisnya atas metodologi/pemodelan yang digunakan Chaney dalam paper tersebut.
Kesimpulan paper tersebut dengan jelas menyatakan: “The empirical patterns suggest that a surge in the political power of religious leaders in the mid/late eleventh century CE caused a decline in scientific production and the patterns cast doubt on the most prominent alternative explanations for the decline.”
Satu catatan kakinya (nomer 52, hal 26) menjelaskan, “Many have claimed that the religious thinker al-Ghazalı (1058-1111) single-handedly created this new ideology and dealt a death-blow to scientific inquiry through his writings. Although Ghazalı was undoubtedly an influential figure, I argue that the success of his teachings are ultimately a product of the Revival. In other words, I suggest that Ghazalı should be viewed as a kind of “cultural entrepreneur,” generating an ideology for which there was latent demand.”
Sangat mirip seperti kalimat njenengan, “Karena terbunuhnya para ilmuwan dan hangusnya buku-buku ilmu pengetahuan tidak serta-merta membunuh budaya keilmuan. Pengembangan iptek akan terhenti, tapi tradisi tidak otomatis mati. Hanya perubahan pemikiran yang dapat membunuh budaya.”
Kedua, soal statement Neil Tyson “… and in that interpretation, it included the perspective that the manipulation of numbers is the work of the devil…”.
Saya duga beliau menyasar karya Imam Ghazali yang lain, i.e., Al-Munqidz min Adh-Dhalal (Deliverance from Error).
Alasan utama saya, Imam Ghazali, saat membahas pembagian “philosophic sciences” menjadi enam bagian, salah satunya matematika, menuliskan kalimat “وقد تولدت منها آفتان” yang bila diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi “mathematics tend, however, to produce two bad results” (lihat https://ghazali.org/books/md/gz101.htm sebagai contoh). Dengan mudah kita dapat temukan penggunaan kata “evil” sebagai pengganti “bad results” dalam paragraf berikutnya, untuk merujuk pada “آفتان”.
Kalimat yang sama oleh W. M. Watt (https://www.ghazali.org/works/watt3.htm, saya cenderung lebih suka terjemahan Inggris versi ini) diterjemahkan sebagai “Nevertheless there are two drawbacks which arise from mathematics”. Kita juga dapat temukan bila kata “drawback” kemudian digunakan secara konsisten dalam paragraf berikutnya (meski ada penambahan kata sifat “great” sebelum “drawback”).
Selain itu, kata “آفتان” via Google Translate diartikan sebagai “two pests” (dua jenis hama). Dalam kitab tersebut versi terjemahan bahasa Indonesia yang kebetulan saya miliki, kalimat tersebut diartikan sebagai “dua dampak negatif”.
Betapa cermat Imam Ghazali menggunakan kosakata yang dapat dimaknai sebagai hama: bahwa untuk memanen hasil taninya, petani mesti memahami apa saja potensi hama yang dapat muncul, siap menghadapi dengan strategi tertentu, sehingga dapat membasminya selama proses bertani berlangsung. Tentu saja tanpa membahayakan hasil taninya, petani yang menanamnya, juga para konsumen hasil taninya. Lagipula, kemunculan hama itu juga belum tentu 100% kepastiannya. Ia baru pada tahap dugaan/sangkaan (probable, dzonni).
Meski memang ditekankan juga oleh Imam Ghazali, bahwa beliau telah melihat banyak orang terjatuh pada salah satu dari kedua kasus hama tersebut: 1) sangat terpukau dengan ahli matematika, hingga percaya/taklid bila apapun yang dikatakan oleh mereka memang benar adanya, meski pernyataannya berada diluar bidang matematika (misal soal agama/ketuhanan), 2) menjadi pemeluk agama Islam yang bodoh, yang menganggap bahwa agamanya mengajarkan pengingkaran total atas keilmuan semacam matematika ini.
Curiga saya, jangan-jangan sebagian sarjana barat seperti Neil Tyson ini jatuh pada kasus “lost in translation”: fokus ilmuwan barat tadi kok ternyata lebih pada hamanya, yaitu kata “evil”, “bad results”, atau juga “drawback”-nya sebagai produk utama ilmu matematika.
Padahal produk utama/hasil tani ilmu tersebut sudah dijelaskan Imam Ghazali, persis pada kalimat sebelumnya: “This embraces arithmetic, plane geometry and solid geometry. None of its results are connected with religious matters, either to deny or to affirm them. They (mathematics) are matters of demonstration which it is impossible to deny once they have been understood and apprehended.” Dan ini gagal disebut oleh Neil Tyson.
Ketiga, soal pandangan Steven Weinberg mengenai kemunduran ini dalam bukunya “To Explain the World”.
Melalui pembubuhan kalimat “often said” (untuk mengutip kesimpulan dari banyak hasil studi serupa), Weinberg memang mengajukan nama Imam Ghazali dan Imam Asy’ari sebagai kontributor terbesar ketegangan antara sains dan Islam.
Menurutnya, kedua figur ini merupakan penganjur terbesar okasionalisme. Meski Weinberg tahu pasti bila Imam Ghazali tahu benar soal potensi jarinya yang akan terbakarnya bila ditaruh diatas lilin, toh Weinberg tetap kesulitan memahami mengapa Imam Ghazali percaya pada paham semacam itu.
Weinberg memang mengutip kalimat Imam Ghazali, pada paragraf sebelumnya, soal beberapa kemungkinan kejadian saat kapas yang bersentuhan dengan api: (1) kapas bisa saja tak terbakar, atau (2) kapas segera menjadi abu bahkan tanpa tersentuh api terlebih dulu.
Bisa jadi Imam Ghazali sengaja tak menuliskan secara eksplisit penerimaannya pada kemungkinan ketiga yang lebih reguler terjadi (sesuai hukum alam, sebagaimana yang ingin dibaca oleh Weinberg), yaitu terbakarnya kapas saat bersentuhan dengan api.
Mungkin karena sang Imam ingin menekankan bila selain hukum alam, kedua kemungkinan lainnya (yang bertentangan dengan hukum alam) itu juga boleh saja (jaiz) terjadi.
Hanya saja, yang dicari-cari dan ingin dipastikan selalu terjadi oleh para ilmuwan seperti Weinberg ini hanyalah hukum alam, tak boleh ada kemungkinan lainnya. Sehingga, dianggapnya sang Imam menegasikan secara mutlak adanya keteraturan/kepastian hukum alam.
Wallahua’lam…
Keterangan foto: Pemenang Nobel Fisika tahun 1979, kiri ke kanan, Sheldon Lee Glashow, Abdus Salam, Steven Weinberg. Dalam buku “To Explain the World”, Weinberg yang seorang ateis bercerita bila Abdus Salam adalah kawan muslimnya yang taat beragama.