Penulis: Prof. Dr. Abad Badruzzaman, Guru Besar UIN SATU Tulungagung
Sekurangnya ada tiga term yang bagi saya cukup manarik dalam surah Quraisy: ilaf, ju’, dan khauf. Kata ilaf yang ada di awal surah ini biasa diterjemahkan “kebiasaan.” Saya penasaran, apa iya “ilaf” cuma berarti “kebiasaan”. Yang saya inginkan arti yang “lebih jauh”, bukan sekadar arti kata perkata secara harfiah.
Saya buka tafsir Ma’arij al-Tafakkur wa Daqa`iq al-Tadabbur karya Abdurrahman Hasan al-Midani. Tafsir ini, seperti Tafsir Bayan al-Ma’ani karya Abdul Qadir Mulla Huwaisy, al-Tafsir al-Hadits karya Muhammad ‘Izzat Darwazah, dan Fahm al-Qur`an al-Hakim karya ‘Abid al-Jabiri, adalah tafsir yang disajikan tidak dengan mengikuti urutan surah dalam mushaf melainkan sesuai dengan urutan kronologis turunnya surah.
Menurut al-Midani, ilaf merupakan term yang berlaku dalam dunia perdagangan di kalangan Arab kala itu. Para pemimpin mereka mengadakan perjanjian untuk memberi jaminan keamanan bagi keluar-masuknya barang-barang dagangan serta para pembawanya di sejumlah kawasan di mana mereka biasa melakukan aktifitas perdagangan.
Para pedagang Quraisy memiliki perjanjian dalam sekup yang luas dengan raja-raja Romawi, Persia, Habasyah dan Himyar di Yaman. Tuhan telah mengkaruniakan kepada kaum Quraisy perjanjian ini dan menggerakkan para raja itu untuk menyepakatinya. Karunia ini sebagai salah satu bentuk “penghormatan” Tuhan bagi Tanah Haram dan Rumah-Nya yang Suci serta pengabulan atas doa Nabi Ibrahim untuk menjadikan negeri ini (Mekkah) aman, penduduknya berlimpah buah-buahan (kemudahan rezeki).
Para pemimpin Quraisy yang membuat perjanjian itu adalah empat tokoh dari Bani Manaf: Hasyim, Abd Syams, Muthalib, dan Naufal. Para pedagang Quraisy, seperti telah dikatakan, biasa melakukan perjalanan dagang ke berbagai negeri dengan jaminan keamanan dari penguasa negeri-negeri itu. Mereka aman dari aneka gangguan.
Al-Midani mengatakan, memaknai kata “ilaf” yang ada di awal surah Quraisy dengan apa yang baru saja dipaparkan, jauh lebih menggambarkan apa yang benar-benar terjadi kala itu, dalam pada itu keterkaitan dengan makna harfiahnya tetap terpelihara. Sekaitan dengan ini, Ibnu Abbas pernah berkata, “Orang-orang Quraisy tahu bahwa yang pertama kali membuat perjanjian bagi mereka adalah Hasyim. Ilaf adalah perjanjian dan jaminan. Hasyim bin Abd Manaf membuat perjanjian dengan para raja untuk orang-orang Quraisy.”
Menegaskan apa yang sudah cukup terang, bagi orang-orang Quraisy pra-Islam, ilaf merupakan “nomenklatur” tentang perjanjian dan jaminan keamanan bagi ekspedisi dagang mereka yang dengannya mereka beroleh keuntungan dan rezeki yang banyak. Mereka merasa tenang di perjalanan; keluar-masuk sebuah negeri, datang dan pergi, musim panas dan musim dingin. Ke selatan mereka sampai di Yaman, salah satu wilayah Habasyah; ke utara, timur, dan barat; ke Syam, Irak, Persia dan Mesir, dalam sebuah perjalanan dagang yang luas, bahkan terkadang mereka sampai ke India.
Ini menunjukkan bahwa penduduk Mekkah dulunya adalah para pedagang yang sudah terbiasa melakukan perjalanan ke banyak penjuru dengan aman. Mereka telah berhubungan dengan banyak negeri yang sudah maju kala itu. Kepada para pemimpin negeri yang didatangi, para pedagang Quraisy biasa mempersembahkan hadiah seraya menjalin perjanjian keamanan serta kesepakatan bisnis, antara lain terkait aktifitas ekspor dan impor. Mekkah waktu itu merupakan pusat perdagangan yang sibuk. Pasar-pasar Mekkah dipenuhi dengan para pedagang yang datang dari berbagai negeri dan kabilah-kabilah Arab.
Dalam pandangan al-Midani, keunggulan orang-orang Quraisy dalam dunia perdagangan kala itu dibanding suku-suku Arab lainnya, tak lepas dari kenyataan bahwa mereka adalah penduduk Tanah Haram di mana Baitullah berada di dalamnya. Tentang hal ini orang-orang Quraisy berkata, “Kami adalah keluarga Allah, anak-cucu Ibrahim, para penguasa Bait al-Haram, penduduk dan penghuni Tanah Haram-Nya. Tidak ada seorang pun memiliki hak seperti kami, tidak ada seorang pun memiliki kedudukan seperti kami. Bangsa Arab tidak pernah mengenal suku mana pun seperti yang kami miliki.”
*^*
Surah ini mengandung taklif atau perintah yang merupakan inti yang hendak disampaikan. Surah dimulai dengan terlebih dahulu mengemukakan ‘illat (alasan) bagi ditetapkannya taklif itu. Kata para ahli, model begini ini termasuk gaya bahasa yang indah. Tidak langsung memberi taklif, tapi dikemukakan dulu ‘illat-nya agar lebih mengena. Disebutkan pula sebelum penetapan taklif itu pihak yang akan dikenai taklif dalam bentuk ghaib (pihak ketiga): mereka (orang-orang Quraisy).
Kalau dinarasikan, kurang-lebih seperti ini: “Karena kebiasaan berdagang orang Quraisy yang dilindungi dengan perjanjian dan jaminan keamanan dari pihak-pihak yang telah disebutkan, serta kemudahan yang Allah karuniakan kepada mereka demi kemuliaan Rumah-Nya dan Tanah Haram-Nya; sehingga mereka bisa melakukan perjalanan dagang di musim dingin dan musim panas, ke utara, selatan, timur dan barat, yang dengannya mereka meraup banyak rezeki dalam keadaan aman-damai, maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik Rumah ini seraya bersyukur atas semua karunia-Nya. Dia-lah yang telah membebaskan mereka dari lapar dan melindungi mereka dari rasa takut.”
Dengan demikian, ayat 1 dan ayat 2 merupakan “alasan bagi terbitnya perintah”, sedang ayat 3 merupakan “materi perintah”-nya. Seperti telah disinggung, di sini terlihat bahwa Tuhan mendahulukan penyebutan “alasan” bagi sebuah perintah, baru kemudian menyebutkan “perintah”-Nya. Ayat 4 kemudian menguatkan posisi perintah dengan menyebutkan “siapa” yang menerbitkan perintah, dan “apa” saja kebaikan yang telah dikaruniakan-Nya kepada pihak yang diperintah.
*^*
Dari surah ini dapat dipetik beberapa poin, antara lain:
Pertama: Al-Quran memanglah bukan kitab sejarah. Namun begitu, ia dapat dijadikan “pemandu awal” bagi para pembacanya tentang beberapa peristiwa penting yang terjadi di kawasan di mana ia turun, terutama yang terkait dengan Arab pra-Islam, turunnya Islam, dan kenabian Muhammad Saw. Penyebutan beberapa tempat dan peristiwa dalam al-Quran, selain karena tuntutan konteks dalam rangka menegaskan sebuah pesan, sebaiknya memantik kita untuk menelusur lebih jauh mengenai tempat dan peristiwa yang “di-mention” oleh al-Quran itu.
Dari sana diharapkan kita menjadi paham mengapa al-Quran menyebutkannya, ada hal penting apa saja yang terdapat di dalamnya, dan pelajaran apa saja yang kiranya relevan dengan sejarah Islam dan kenabian Muhammad Saw. Pada hemat saya, surah Quraisy ada dalam frame pembicaraan ini. Yakni salah satu petunjuk atau gambaran awal dari al-Quran tentang masyarakat Quraisy waktu itu.
Kedua: Khusus terkait surah Quraisy ini, saya rasa amat relevan apabila ia dijadikan pelajaran atau pun pedoman oleh para pemimpin atau mereka yang memiliki kekuasaan atas masyarakat. Yaitu, hendaknya mereka meneladani Tuhan ketika Dia memerintahkan manusia untuk menyembah-Nya. Dalam surah ini, seperti telah disitir, Tuhan mendahulukan penyebutan alasan turunnya perintah ketimbang mendahulukan penyebutan perintah-Nya itu sendiri. Ada “rasionalisasi” yang jelas mengapa ada perintah. Kemudian, setelah menyebutkan perintah-Nya pun, Dia mengukuhkannya dengan menyebut beberapa kebaikan yang telah Dia karuniakan kepada pihak yang diperintah.
Pelajarannya: seorang pemimpin atau penguasa jangan hanya fasih menyuruh “ini-itu” kepada bawahan atau rakyatnya. Penuhi dulu hak-hak dasar mereka, baru setelah itu tuntut kewajiban mereka. Belajarlah dari Tuhan: Dia menyuruh orang-orang Quraisy untuk menyembah-Nya setelah dia memenuhi hak mereka atas kecukupan pangan dan rasa aman.
Demikian ulasan “liar” tentang surah Quraisy. Tentang surah-surah lainnya insya` Allah lain waktu. Wallahul hadi ila sawa`issabil… Jika ada yang mau menggantinya dengan: Wallahul muwaffiq ila aqwamit thariq…juga boleh
Dengan demikian, ayat 1 dan ayat 2 merupakan “alasan bagi terbitnya perintah”, sedang ayat 3 merupakan “materi perintah”-nya. Seperti telah disinggung, di sini terlihat bahwa Tuhan mendahulukan penyebutan “alasan” bagi sebuah perintah, baru kemudian menyebutkan “perintah”-Nya. Ayat 4 kemudian menguatkan posisi perintah dengan menyebutkan “siapa” yang menerbitkan perintah, dan “apa” saja kebaikan yang telah dikaruniakan-Nya kepada pihak yang diperintah.
Terimakasih ilmunya, menambah wawasan bagi saya