Oleh Hamid Basyaib
Ia mengaku memelihara seekor monyet yang ia beri nama “Rima Melati”. Ia mungkin berniat memancing reaksi keras, sehingga akan timbul kisruh legal — di masa ketika orang tak gampang main lapor ke polisi. Mungkin itu cara dia menyindir kualitas akting aktris besar itu. Tapi barangkali Rima Melati cuma tertawa karena sangat mengenal sepupunya itu sebagai orang yang gemar memprovokasi dengan sikap isengnya.
Tapi keisengannya sering juga menyentuh hal-hal yang sangat serius. Misalnya, ia menciptakan karakter Yesus sebagai lelaki kulit hitam dan berambut kribo, dalam “Jesus Christ Superstar” (1980), drama musikal karya Andrew Lloyd-Weber, yang disutradarainya di Gelora Senayan. Tapi kenakalan kreatif ini dilatari oleh sikap dan pengetahuan kokoh tentang sejarah Kristen, setidaknya tentang citra visual tokoh Yesus.
Sebagai penekun kitab suci dan agama-agama (mungkin ini pengaruh ayahnya, seorang pendeta Protestan), ia tahu bahwa gambar Yesus Kristus yang selama ini paling dikenal — sebagai sosok bule berambut panjang pirang — hanyalah rekaan seniman dan umat Kristen Eropa; disesuaikan dengan sosok mereka sendiri. Itu hanya salah satu kemungkinan, dan sah belaka; bahkan untuk menggambarkan seorang pria Yahudi 30an di Kanaan, dua puluh abad lalu.
Tapi ia ingin memperluas kemungkinan itu. Faktanya: citraan visual Yesus lebih beragam. Umat Kristen di negara-negara Afrika, misalnya, mengenal Yesus sebagai sosok berkulit hitam dan berambut Afro. Bahkan ada komunitas-komunitas religius yang lebih menyukai penggambaran Yesus sebagai perempuan, lengkap dengan ciri-ciri fisik femininnya yang dilukiskan dengan gamblang.
Jadi, begitulah jalan pikiran Remy, kenapa ia tidak boleh menghadirkan sosok Yesus berkulit hitam dan berambut kribo di Jakarta abad 20?Maka ia memasang seorang musisi asal Papua (Irian) sebagai Yesus Kristus, untuk mencapai aspirasi artistik dan dramatiknya di Gelora Senayan.
Sebelum mementaskan drama berbau religi itu, di Bandung ia menggelar drama panggung yang kemudian seolah mendefinisikan dirinya sebagai dramawan avant-garde yang berani menabrak rambu-rambu susila: “Orexas”, akronim “organisasi seks bebas”. Dengan teater ini ia seakan menyuntikkan energi kreatif, tapi dengan spirit pemberontakan budaya, kepada seniman-seniman Bandung seperti Harry Rusli.
***
Keisengannya juga ia rutinkan dalam “Puisi Mbeling”, rubrik yang diasuhnya di majalah musik Aktuil, terbitan Bandung. Sejumlah pengamat menyebut niatnya menciptakan “genre” puisi baru itu sebagai caranya mendobrak kebekuan budaya dan politik Orde Baru. Ulasan semacam ini memotret Remy Sylado lebih gagah daripada maksud sejatinya. Faktanya ia hampir tak pernah menujukan karya dan aktifitas seninya sebagai kritik politik; atau menjadikan keganjilan-keganjilan politik sebagai sasaran kritiknya, misalnya dengan mengolok atau menyindir dengan kocak.
Dengan menyediakan ruang untuk puisi mbeling — sebuah istilah Jawa bermakna nakal atau menyempal dari kelaziman, yang agaknya dirasa unik oleh seniman pencermat kata ini — ia cuma bermaksud meruntuhkan keangkeran puisi; suatu cabang sastra yang selama ini dikesankan luhur, canggih dan karenanya hanya bisa diciptakan oleh para perenung tertentu yang disebut “penyair”.
Puisi mbeling, seperti dideklarasikannya saat pertama kali meluncurkannya sebagai “genre”tersendiri, bisa dan boleh dibuat oleh siapa saja. Penulisan puisi bukan wewenang eksklusif kaum penyair. Jika buruh bangunan, pegawai negeri, tentara atau remaja bengal mau menuangkan perasaannya — tentang apa saja — mereka boleh saja menatanya dalam bentuk atau sebagai puisi sebagaimana lazim dikenal.
Ia menyajikan contoh karya-karyanya sendiri di masa awal penyajian rubrik itu di pertengahan 1970an; agar pembaca berani mengirimkan puisi-puisi mereka yang tidak harus sesuai pakem atau standar penulisan puisi, misalnya keharusan berima atau berbentuk kwatrin (meski jika seorang sersan Angkatan Darat ingin menyajikan bentuk-bentuk semacam itu boleh saja, tidak dilarang).
Sebuah “puisi contoh” yang mengesankan adalah sajak tentang monolog seorang lelaki yang ditujukan kepada seorang perempuan. Aku membuka bajuku, begitu kira-kira, engkau membuka bajumu; lalu kita masuk ke kamar mandi; Aku di rumahku, kau di rumahmu. Bayang-bayang suasana atau janji adegan seks yang dibangunnya, dibuyarkannya di ujung puisi itu. Sebuah twisting yang tajam sekaligus komedial.
Puisi, sesuai kredo mbeling yang ditawarkannya, memang boleh saja berisi kekocakan dan ketidakseriusan, dan itu tetap boleh disebut “puisi”; tidak harus berisi renungan-renungan hidup yang diniatkan mendalam dengan diantarkan oleh bahasa indah dan kata-kata “sastrawi”. Penyair Joko Pinurbo, misalnya, diniatkan atau tidak adalah alumnus fakultas puisi mbeling yang dekannya Remy Sylado, di luar nama-nama lain yang lebih senior yang kemudian dikenal sebagai penyair, seperti Yudistira ANM Massardi. Ia menginspirasi anak-anak muda masa itu untuk berani mengekspresikan diri melalui medium puisi, yang sifat-sifat tradisionalnya telah ia lucuti.
***
Ia menunjukkan keluasan minat yang mengesankan di kancah kesenian dan kebudayaan, termasuk bahasa. Ia menulis 50an novel, dan beberapa mendapatkan penghargaan selain sukses komersial, dan 20 di antaranya adalah cerita anak-anak. Rupanya rahasia produktifitasnya ialah: ia tidak menulis karya-karya itu secara sekuensial, berurutan. Ia seakan membangun banyak bilik kreatif di rumah pikirannya, yang masing-masing dapat dikembangkan sendiri dengan berpindah-pindah, tanpa menunggu penuntasan salah satunya.
Ia, katanya, punya 5 atau 6 mesin tik, dan sering semuanya digunakannya sekaligus. Jika ia menulis lalu macet di mesin pertama, ia menulis karya lain di mesin kedua, ketiga dan seterusnya. Tampaknya sampai akhir ia, seperti sejumlah penulis segenerasinya, tidak menulis di komputer. Mungkin ia seperti sejumlah penulis seangkatannya: kreatifitas dan kenikmatan dalam menulis muncul dari gemeretak tuts-tuts Brother, Royal, Olivetti, atau bahkan Remington, yang menjanjikan suara lebih “melodius”.
Melodi memang selalu penting baginya. Sebagai pengamat musik, bahkan juga pencipta lagu dan dia pernah merekam karya-karya musiknya di sebuah perusahaan rekaman kaset, ia bahkan mengabadikan nama penanya, yang membuat publik hampir tak pernah tahu nama aslinya (Japi Panda Abdiel Tambayong) dengan penanda nada musikal: Remy Sylado alias re-mi-si-la-do atau 23761 — pada 23 Juli 1961 itulah, katanya, ia pertama kali mencium seorang gadis.
***
Sebagai penekun bahasa — ia cukup paham bahasa Yunani, Latin, Ibrani, Arab, selain bahasa-bahasa modern Eropa — ia peduli pada pertumbuhan bahasa Indonesia. Ia berusaha memenuhi salah satu fungsi penulis/sastrawan/penyair, yaitu menciptakan kosa kata baru atau memburu padanan bahasa Indonesia yang tepat untuk kosa kata asing, termasuk yang telanjur populer; atau menawarkan sinonim-sinonim baru untuk memunculkan ekspresi literer yang lebih kaya.
Ia gemar menggunakan “munsyi” untuk penulis atau sastrawan, suatu tawaran yang kurang berhasil, dan orang tetap lebih suka menggunakan dua kata pertama, yang miskin sinonim. Ia juga gagal dalam tawarannya untuk istilah kugiran (kumpulan gitar rancak) untuk menunjuk kelompok musik pop yang telanjur dibakukan dengan “band” atau “grup musik”. Karena suara gitar dalam musik pop umumnya dominan dan dinamis, ia merasa tepat mengidentifikasinya dengan “rancak”, suatu kata Minang.
***
Sejak lama ia mencibir kemiskinan ekspresi musikal komposisi lagu pop Indonesia yang disebutnya “jurus tiga kunci”. Terlalu banyak lagu pop kita yang berstruktur sederhana, yaitu hanya bertumpu pada kunci/akord C-F-G.
Tentu ia tahu sumber kemiskinan itu: para musisi atau komposer kita, setidaknya hingga di masa ia aktif mengamati perkembangan musik, nyaris sepenuhnya mengandalkan bakat alam; tanpa landasan keahlian musik akademis standar. Ia sendiri cukup mempelajari dasar-dasar musik klasik, landasan pengetahuan yang bisa dikembangkan ke arah genre mana pun.
Tapi kritik musiknya yang paling telak, meski kali ini ia berfokus pada kualitas lirik, adalah esai panjang di jurnal Prisma (1977, bertema “Budaya Pop”), berjudul “Musik Pop Indonesia: Kebebalan Sang Mengapa”.
Baginya, lirik lagu pop kita didominasi oleh pertanyaan “mengapa” yang bebal dalam konteks dan substansi. Terutama: selalu muncul pertanyaan “mengapa” untuk kasus putus cinta. Si aku (penyanyi) bertanya mengapa kekasihnya pergi meninggalkannya, dan biasanya tanpa pesan apapun alias si pacar menghilang begitu saja, tanpa sebab musabab. Mengapa si aku dan kekasihnya harus berjumpa jika ternyata kemudian harus berpisah. Mengapa, mengapa, oh, mengapa.
Pertanyaan yang disebutnya “bebal” ini terus menerus muncul sejak awal sampai akhir lagu. Tiada kedewasaan sikap dalam menghadapi krisis emosional. Tiada optimisme apapun yang ditawarkan oleh komposer. Sampai lagu berakhir, kebebalan sang mengapa terus merundung dan menjadikan si aku merana abadi. Sekujur lagu dilanda melodrama akut.
Tentu saja tema lagu pop Barat pun, katanya, didominasi oleh perkara cinta; juga nestapa patah hati. Tapi, tulisnya dengan meyakinkan, kepiluan hati itu tidak dibiarkan berlarut-larut. Si aku kemudian sanggup melihat petaka batinnya dengan cara baru, yang berujung pada optimisme yang sehat. Si aku menjanjikan ikhtiar melanjutkan hidup justeru dengan spirit yang lebih kuat dibanding sebelumnya.
Ia menyajikan contoh-contoh yang memadai bagi kedua corak lirik tersebut, untuk menopang bangunan argumennya. Ia mengerti dengan baik prosedur yang benar dalam mengajukan tesis dan argumen.
Kebebalan sang mengapa itu, katanya, tentu bersumber dari pendidikan pas-pasan yang dimiliki oleh rata-rata musisi/komposer atau penyanyi kita. Namun ternyata sinyalemen ini tidak pula meyakinkan. Buktinya, kata dia, ratapan dan rengekan sang mengapa juga sering sekali muncul dalam, misalnya, lagu-lagu grup Bimbo, yang semua personelnya bergelar sarjana.
Empat puluh lima tahun kemudian, sampai akhir 2022 ini, agaknya kritiknya masih sahih. Kita boleh mengujinya sore ini juga, dengan mendengarkan lagu pop kita secara acak sambil menikmati kopi hangat.
***
Mungkin ia seniman paling lengkap di Indonesia. Hampir semua cabang seni utama dimasukinya — tampaknya hanya tari yang tak disentuhnya. Gairah melukisnya yang besar menghasilkan banyak sekali lukisan car minyak/akrilik, sampai ia pasang di hampir seluruh plafon rumahnya di Cipinang Jakarta, setelah semua dinding tak sanggup lagi menampungnya.
Sedikitnya dalam seperempat abad terakhir ia selalu tampil serba putih. Topi fedoranya putih, bajunya putih, bahkan suspender penahan celana putihnya pun putih. Di ujung kakinya: sepatu lancip putih. Belakangan putihnya sempurna: rambut, alis dan kumis.
Apakah semua itu sebuah personal statement bahwa ia memastikan diri untuk selalu terbuka terhadap hal baru, di bidang apa saja, dan dari mana pun datangnya?
Ia terhenti di usia 77, meninggalkan jejak kreatifitas yang panjang hasil kiprahnya selama enam dekade. Sebuah perjalanan panjang yang penuh — juga ditingkahi oleh aneka komentar sosialnya yang runcing, dengan sinisme yang keras terhadap ekspresi-ekspresi budaya Barat modern di negeri Timur Indonesia, yang kerap membuatnya gelisah.
Bung Remy, putihmu abadi. ***