Penulis: Prof. Dr. Abad Badruzzaman, Guru Besar UIN Tulungagung
Ini lanjutan “ulasan” saya atas buku terbaru Prof. Mun’im yang saya punya: Koeksistensi Islam-Kristen. Sebelum ini saya sudah “mengulas” tentang “Trinitas Qur`ani” dari buku tersebut. Waktu itu saya janji akan menulis tentang satu lagi judul dari buku Koeksistensi Islam-Kristen, yaitu “Pindah Agama Demi Pacar”.
Mengulang apa yang saya katakan sebelumnya, “Trinitas Qur`ani” dan “Pindah Agama Demi Pacar” merupakan dua topik paling menarik bagi saya–juga mungkin bagi banyak dari Anda–dari buku Koeksistensi Islam-Kristen. Status saya tentang “Trinitas Qur`ani” berbuah surat “cinta” dari Sang Penulis buku. Kita lihat, apakah status tentang “Pindah Agama Demi Pacar” ini akan memetik buah yang sama?
Jauh sebelum kita kenal dan akrab dengan infotainmen, kejadian pindah agama; dari luar Islam masuk Islam atau sebaliknya, acap kita dengar. Kini, setelah “rejim” tivi dan “otoritas” berita online sedemikian deras membanjiri ruang dengar dan ruang baca, berita tentang pindah agama itu lebih sering lagi kita dengar dan baca, terutama di kalangan para pesohor. Jika ada orang masuk Islam, kita yang beragama Islam men-cap orang itu dapat hidayah. Jika ada orang masuk Kristen, saudara-saudara kita yang beragama Kristen mungkin men-cap hal yang sama yang semakna dengan hidayah atas orang itu.
Maka, kita sederhanakan saja: orang pindah agama, dari agama apa saja ke agama apa saja, itu karena dapat hidayah. Kamu yang Muslim jangan protes ya! Ini untuk menyederhanakan saja, karena yang jadi fokus status ini bukan pada “hidayah”-nya, melainkan hal-hal apa saja yang membuat seseorang dapat “hidayah”.
“Hidayah” itu bahasa atau term agama. Para ilmuan sosial tidak akan menerima begitu saja kata “hidayah” ketika mereka mengamati dan mengkaji peristiwa pindah agama. Bagi mereka, fenomena konversi perlu dijelaskan melalui hal-hal yang bisa diobservasi. Karin van Nieuwkerk (susah bener da ah nulisnya), guru besar studi Islam kontemporer Universitas Radboud, Belanda meneliti sejumlah perempuan Eropa yang memutuskan memeluk Islam. Nieuwkerk menghimpun pengakuan orang-orang yang pindah agama, sembari meneliti kisah hidup mereka. Metode ini dikenal dengan “narasi biografis”.
Setelah menjadi Muslimah pada 1991, Anneke mengganti namanya jadi Sakinah. Kala itu, Anneke berlibur ke Tunisia. Di sana ia bertemu pemuda Tunisia yang masih kuliah matematika di Prancis. Anneke menyukai sang pemuda. Anneke kaget, kok ada ya seorang yang cukup cerdas ternyata juga seorang Muslim beriman. Anneke mengaku suka-rela memeluk Islam yang dilihatnya ternyata memiliki watak logis dan saintifik. Tidak keliru kalau dikatakan, sang pemuda Tunisia sudah memberi jalan “hidayah” bagi Anneke bahwa keislaman dan keimanan tidak memunggungi kecerdasan, serta ternyata Islam memiliki watak logis dan saintifik.
Dari Tunisia kita ke India di zaman kolonial. Muhammad Qasim Zaman, guru besar studi Islam Universitas Princeton meneliti sejumlah kasus konversi dari Islam di kalangan perempuan Muslim di India zaman itu. Qasim Zaman mendapati banyak kasus Muslimah memilih keluar dari Islam karena tidak tahan hidup bersama suaminya. Dalam aturan fikih, perempuan tidak berhak menceraikan suami. Fikih klasik juga menyatakan bahwa murtad membatalkan perkawinan. Maka, jika istri bermaksud berpisah dari suaminya, jalan yang tersedia adalah menjadi murtad.
Dari India zaman kolonial, kita ke Indonesia zaman milenial. Ada Deddy Corbuzier di sana yang pernah bilang, “Saya pindah agama karena hidayah.” Sabrina Chairunnisa, sang pacar kala itu, mengiyakan kata-kata Deddy. Sabrina sendiri mengaku tidak pernah memaksa Deddy untuk menjadi Muslim.
Dari tiga kasus di atas, kita setidaknya mencatat satu poin penting; bahwa dengan tetap mengakui konsep “hidayah”, motif pindah agama dipengaruhi dan dibentuk oleh konteks tertentu di mana peristiwa itu terjadi. Pindah ke Islam atau keluar darinya selalu berada dalam konteks yang bisa dipahami secara sosio-kultural.
Lewis R. Rambo dalam bukunya Understanding Religious Coversion (1993) merumuskan beberapa pola konversi. Rambo menyebutkan tahapan-tahapan yang dilalui seseorang yang pindah agama, yaitu: konteks, krisis, pencarian, pertemuan, interaksi, komitmen, dan konsekuensi. Tapi, pola konversi itu tidak tunggal. Ada yang mengalami krisis dulu, baru berusaha mencari dan berjumpa orang yang membimbingnya. Ada juga yang mencari tahu dahulu, baru mengalami krisis setelah bertemu dengan orang yang mengajarinya.
Dalam karyanya, Towards an Integrative Theory of Religious Conversion, Ines J. Jindra menulis: “While the conversions to Islam (in West, at least) seem to be influenced by social and cultural factors, the conversions to Christianity are traced largely to mystical and psycological factors” (2016: 333). Dari Jinda kita semakin yakin bahwa pola konversi itu tidak tunggal. Ada yang “galau” dulu baru mencari, ada pula yang mencari dulu baru merasa “galau”. Bagi sebagian berlaku “kaidah”: “Aku galau, maka aku mencari.”
Bagi sebagian lain berlaku “aturan”: “Aku mencari, maka aku galau.” Kata-kata Jindra juga saya kira tidak sedang memukul rata. Ia hanya menunjukkan apa yang umumnya terjadi. Kalau didata kasus perkasus, bisa saja di Barat pun ada “conversion to Islam seem to be influenced by mystical and psycological factors”, dan “conversion to Christianity is traced to social and cultural factors”.
Seperti digariskan Prof. Mun’im di ujung tulisannya tentang fenomena pindah agama ini, ada yang lebih penting dari itu semua, yaitu apa pun konteks “menemukan” agama baru, aspek lain yang menarik diteliti adalah apa yang terjadi setelah pindah agama. Bukan cuma soal “komitmen” dan “konsekuensi” seperti dalam rumusan Lewis R. Rambo, tapi juga apakah mereka yang pindah agama menjadi lebih baik dan bermanfaat.