Penulis: Prof. Dr. Media Zainul Bahri, Guru Besar Pemikiran Islam UIN Jakarta
Tadi siang menguji Ujian Pendahuluan Disertasi tentang “Liberalisme Islam (Islam Liberal) Nurcholish Madjid”: membaca pandangan-pandangan keislaman Cak Nur yang dianggap liberal dengan ukuran kategori “Islam liberal” Charles Kurzman (2001).
Dalam disertasi itu sebenarnya saya belum menemukan definisi yang jelas: apa itu Islam liberal model Cak Nur dan bagaimana pandangan-pandangannya yang “dianggap liberal” jika dibandingkan dengan pandangan sarjana Muslim lain yang juga dianggap liberal, dan apa “yang distinct” dari model liberal Cak Nur dibanding yang lain. Saya tidak menemukan itu.
Apalagi 32 tokoh yang dikategorikan “Islam liberal” oleh Kurzman sudah diperdebatkan oleh beberapa sarjana. Misalnya apakah betul Muhammad Natsir dan Yusuf Qardhawi masuk dalam kategori muslim liberal? Banyak orang menyebut pandangan-pandangan keislaman keduanya sebagai “konservatif” atau bahkan “fundamentalis”, dan malah Yusuf Qardhawi masuk dalam daftar tokoh yang dilarang masuk ke beberapa negara karena dianggap “konservatif” dan “radikal”. Mengapa Kurzman memasukkan dua tokoh itu ke dalam 32 tokoh muslim liberal? Berdebatnya bisa berdakik-dakik.
Charles Kurzman membuat Sembilan (9) kategori gagasan pokok Islam liberal, yang jika tokoh Islam memperjuangkannya maka ia pantas disebut “muslim liberal”. Yang sembilan (9) itu adalah: Syariah liberal (liberal shariah), Syariah yang diam (silent shariah), Syariah yang ditafsirkan (interpreted shariah), menentang teokrasi, membela demokrasi, membela hak-hak kaum perempuan, membela hak-hak non-muslim, mengkampanyekan kebebasan berpikir, memiliki gagasan tentang kemajuan.
Dengan 9 kategori itu, si penulis Disertasi memasukkan Cak Nur sebagai tokoh Islam liberal terutama karena Cak Nur mengkampnyekan enam (6) poin terakhir: menentang teokrasi, membela demokrasi, membela hak-hak kaum perempuan, membela hak-hak non-muslim, mengkampanyekan kebebasan berpikir, memiliki gagasan tentang kemajuan.
Saya berharap penulis Disertasi betul-betul mengeksplorasi keenam gagasan Cak Nur itu dengan analisis yang luas dan tajam sehingga akan terlihat apakah Cak Nur benar-benar “muslim liberal sejati” atau “muslim liberal terbatas” atau “muslim liberal setengah hati”, atau sebenarnya beliau adalah “neo-modernis sejati” (seperti sering disebut dalam Disertasi itu), dan bukan “seorang liberal”. Tapi harapan saya tinggal harapan. Disertasi itu menulis 6 poin itu secara normatif dan umum-umum saja bahwa Cak Nur memiliki pandangan normatif begini dan begitu tentang keenam poin. Siapa pun yang membaca buku-buku Cak Nur sudah tahu soal itu.
Sebagai penguji saya mau lebih dari itu. Sebagai tokoh besar dengan gagasan-gagasan besar kita mau tahu dua hal: (1) apakah Cak Nur itu memang “muslim saleh-liberal sejati” yang kedalaman dan keluasan ilmunya dalam studi Islam membuatnya menganut “Syariah liberal”, yang karena kerumitan dan kedalamannya itu, ia sering disalahpahami dan dituduh macam-macam; (2) dengan Disertasi itu kita ingin tahu apakah gagasan keislaman Cak Nur masih relevan dan kontekstual dengan gairah keislaman hari ini yang semakin rumit: liberal, moderat, konservatif dan radikal campur menjadi satu.
Karena itu saya mengajukan banyak beberapa pertanyaan kea rah masa kini:
Pertama, soal menentang teokrasi. Benar bahwa Cak Nur menentang model negara Islam/negara syariah. Itu sudah jelas. Pertanyaan saya: apakah gagasan Cak Nur menentang teokrasi itu pada level ideal-prinsipil-teoritis atau hanya pada level sosiologis? Maksudnya: dengan gairah dan semangat keislaman yang meledak-ledak hari ini, bagaimana jika sebagian besar muslim Indonesia menghendaki negeri ini menjadi Indonesia Bersyariah atau Pancasila Bersyariah, apakah Cak Nur setuju? Karena itu keinginan kuat Sebagian besar muslim, misalnya. Kalau setuju atau tidak setuju, argumen teologis dan sosio-politis apa yang bisa dikemukakan Cak Nur?
Kedua, soal Demokrasi: Apakah Cak Nur setuju jika sebagian muslim Indonesia, atas nama Demokrasi, menghendaki Indonesia Bersyariah? Dan apakah Cak Nur setuju pembubaran HTI dan FPI di negara demokratis yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi yang dulu diperjuangkan Cak Nur?
Ketiga, soal hak-hak perempuan. Dalam beberapa tulisan Cak Nur setuju—secara normatif–kesetaraan hak-hak perempuan dengan laki-laki dan hak-hak perempuan muslimah secara luas di ranah publik. Pandangan itu ada dalam beberapa tulisan Cak Nur. Pertanyaan saya: Jika dulu mungkin Cak Nur memperjuangkan agar siswi dan pekerja muslimah diberi hak untuk memakai jilbab di sekolah dan di kantor, maka hari ini semua perempuan Muslimah, dari anak-anak hingga dewasa dan orang tua, sudah memakai jilbab di sekolah-sekolah negeri dan kantor-kantor pemerintah. Bahkan banyak sekolah negeri “mewajibkan” dan “memaksakan” siswi muslim dan non-muslim untuk memakai jilbab. Pertanyaannya: apakah Cak Nur setuju jika ada sebagian perempuan Muslimah menolak pemaksaan memakai jilbab di sekolah-sekolah negeri dan kantor pemerintah? Atau apakah Cak Nur setuju dengan pemaksaan kewajiban itu atas nama “kehendak mayoritas muslim”?
Keempat, soal hak-hak non-muslim. Dalam disertasi itu Cak Nur tidak banyak bicara soal hak-hak non-muslim tapi lebih banyak menyoroti tulisan Cak Nur tentang “keharusan mengapresiasi pluralisme”. Konsen Cak Nur kepada pluralisme. Pertanyaan saya: (1) apakah Cak Nur setuju jika ada non-muslim ingin membangun tempat ibadah mereka di tengah mayoritas muslim? Atau sejauh mana pandangan Cak Nur tentang pengaturan pembangunan rumah ibadah non-muslim yang terus menuai kontroversi? (2) Apakah Cak Nur setuju dengan “Favoritisme Islam”, misalnya anak-anak muslim yang hafal Quran 15 juz hingga 30 juz boleh masuk perguruan tinggi negeri tanpa tes? Atau sebaliknya, bolehkah anak-anak non-muslim yang punya prestasi dengan kitab suci mereka masing-masing untuk masuk perguruan tinggi negeri tanpa tes juga? Atau bolehkah mengumandangkan adzan di tempat-tempat umum, misalnya di tempat wisata? Atau di lampu merah yang mungkin mengganggu kenyamanan non-muslim? Atau kemungkinan non-muslim menjadi pemimpin tertinggi di negara ini? Bagaimana pandangan Cak Nur soal ini?
Kelima, soal kebebasan berpikir. Cak Nur dikenal sebagai pembaharu yang mengkampnyekan kebebasan berpikir dan berpikiran luas. Tapi umumnya tulisan Cak Nur dan tulisan orang yang menulis Cak Nur soal ini, normatif saja. Saya bertanya: Seorang muslim merasa memiliki kebebasan berpikir dasarnya dua hal: kitab suci al-Quran dan nalar. Pertanyaannya: bagaimana pandangan Cak Nur jika ada sebagian muslim Indonesia yang membela LGBT atas dasar nalar, sains dan keyakinan agamanya? Atau sebaliknya, bagaimana jika sebagian muslim menolak LGBT juga atas nama kebebasan berpikir? “Saya sebagai muslim punya kebebasan memahami kitab suci saya dan kebebasan nalar saya bahwa LGBT itu menyimpang, tidak normal, jijik dan haram”. Bagaimana pandangan Cak Nur?
Jika Cak Nur tidak sampai membicarakan soal-soal detail dan teknikal-praktikal dari pertanyaan-pertanyaan saya di atas, setidaknya penulis Disertasi, berdasar hasil risetnya, memiliki “acuan pandangan” Cak Nur atau “kerangka umum mendasar” dari pandangan Cak Nur yang dengan itu si penulis Disertasi memiliki imajinasi untuk “menghubungkan” acuan dan kerangka umum mendasar itu dengan problem-problem sosial keagamaan hari ini. Jika itu dilakukan kita akan tahu Cak Nur itu liberal atau tidak, sebenarnya? Atau masuk dalam kategori apa, selain neo-modernis?
Keenam, sudah banyak penulis Indonesia menyebut Cak Nur liberal: dulu ada HM Rasyidi, Abdul Qadir Jailani, Daud Rasyid, Adian Husaini, Fahmi Zarkasyi dan konco-konco mereka, juga tidak sedikit akademisi UIN di mana pun menyebut/menulis Cak Nur liberal, apakah dalam pengertian positif atau negatif (tapi umumnya negatif). Pertanyaan saya: apa yang baru dari Disertasi ini tentang Islam liberal Cak Nur? Apa sumbangan Disertasi ini bagi Studi tentang Cak Nur? Atau Studi Islam Indonesia? Tidak ada.
Sayang sekali, saya tidak mendapat jawaban yang memuaskan berdasarkan teks-teks Cak Nur sendiri dan analisis dari penulis Disertasi.
Saya berharap Disertasi atau karya ilmiah tentang Cak Nur atau tokoh Islam Indonesia lainnya, menjadi “Relevan”, “Aktual” dan “Kontekstual” untuk problem masa kini seperti buku di foto bawah: “Mengapa masih relevan membaca Marx hari ini?”. Itulah juga sebabnya kursus-kursus singkat online tentang para Filusuf Sosial seperti Bourdieu, Habermas, Foucault, Zizek dan lain-lain diserbu ribuan yang hadir. Mereka merasa pikiran-pikiran para Filusuf itu masih relevan dan aktual untuk problem-problem sosial hari ini.
Untuk sampai pada “Relevansi”, “Aktualitas”, dan “Kontekstualitas” pemikiran Cak Nur, Gus Dur atau siapa pun tokoh Islam Indonesia yang dikaji, si peneliti harus tekun, jeli, dan cermat membaca “ribuan teks” Cak Nur dan “ribuan halaman” tulisan Cak Nur. Dari ribuan bahkan puluhan ribu teks itu, si peneliti membuat premis-premis, kategori, definisi, perspektif, mana yang partikular dan mana yang universal dan seterusnya. Memang bukan pekerjaan mudah dan instan, tapi itulah cara kerja karya ilmiah bermutu tinggi.
Satu hal yang pasti adalah bahwa keseluruhan pandangan dan praktik keislaman Cak Nur selalu bersandar kepada al-Quran, Hadis dan khazanah intelektual Islam klasik, selain kepada ilmu-ilmu sosial modern. Karena itu, Cak Nur tidak bisa disebut “liberal” dalam pengertian liberalisme Sebagian besar orang-orang Eropa Barat atau Amerika yang mereka tidak percaya kepada apa pun, kepada otoritas apa pun kecuali hanya percaya dan bersandar kepada “nalar, ilmu pengetahuan dan diri mereka sendiri”. Dan Cak Nur tidak begitu. Cak Nur santri. Berasal dari keluarga ulama dan dididik lama dalam tradisi pesantren. Hingga akhir hayatnya, Profesor Nurcholish Madjid percaya kepada otoritas al-Quran dan Sunah Nabi Muhammad SAW.