Penulis: Prof. Dr. Media Zainul Bahri, Guru Besar Pemikiran Islam UIN Jakarta
Pada kitab suci terdapat tiga tanda pokok: “sakralitas”, “otentisitas” dan “otoritas”. Secara teologis yang basisnya adalah iman, ketiga hal itu berasal dari Tuhan. Tuhanlah yang membuat kitab suci menjadi sakral, otentik dan memiliki otoritas penuh bagi dan untuk orang-orang beriman.
Tetapi, dalam perspektif historis dan sosiologis, seperti yang ditulis oleh Begawan studi agama, Wilfred Cantwell Smith melalui karyanya yang kini menjadi klasik, What is Scripture? (1960), manusialah yang “menghidupkan” kitab suci. Smith mengajukan tesis “kitab suci adalah aktivitas manusia. Keterlibatan manusia, itulah yang utama”. Jadi bagi Smith, manusialah yang menjadikan kitab suci sakral; meyakininya sebagai otentik (asli dari Tuhan); dan memperlakukannya sebagai otoritas tertinggi yang dapat mengatur manusia dalam seluruh aspek hidupnya. Tanpa keterlibatan manusia, kitab suci tidak berarti apa-apa. Hanya kumpulan huruf dan kalimat. Dalam konteks inilah maka muncul penafsiran (manusia) tekstual, substansial, dan liberal atas kitab suci.
Karen Armstrong, melalui karya terbarunya The Lost Art of Scripture, Seni Membaca Kitab Suci (Mizan 2021; edisi Inggris, The Lost Art of Scripture, Rescuing the Sacred Texts, 2019) adalah bentuk penafsiran atau pembacaan baru terhadap kitab suci. Armstrong mengajukan tesis baru: yang luput dari umat beragama adalah mengabaikan ‘otak kanan’ dalam membaca kitab suci. Bagi Armstrong, sejak masa kuno atau masa perdana diturunkannya kitab suci, pesan pokok dari kitab suci adalah spiritualitas, seni, imajinasi, empati, simpati, dan mengasah intuisi. Ini semua merupakan wilayah otak kanan.
Tetapi sejak era peralihan dari abad pertengahan-teologis (the age of faith) ke masa modern (the age of reason), bahkan puncaknya di masa kini, kaum beriman dari beragam tradisi keagamaan, lebih senang menggunakan ‘otak kiri’: bahasa, matematika, analisis dan pemikiran kritis-logis dalam memahami kitab suci. Dua cara berbeda menghasilkan pemahaman yang berbeda.
Armstrong, melalui karya setebal hampir 700 halaman, dengan penjelasan yang sangat luas dari berbagai kepercayaan Timur dan agama-agama monoteis, meyakini bahwa “jantung” kitab suci adalah “seni imajinatif” yang akan menyuburkan sikap welas asih, empati, persaudaraan, uluran tangan, pengorbanan, penghormatan, dan sikap memaafkan, baik terhadap komunitas sendiri, orang lain dan bahkan terhadap musuh. Inilah paradigma dan praktik kuno yang sudah eksis sebelum dan di masa-masa awal kitab suci “diturunkan”.
Dengan merekomendasikan kekuatan “otak kanan” sebagai seni imajinatif, Armstrong, secara ekstensif dalam The Lost Art of Scripture mengkritik tiga hal pokok. Pertama, bagi orang modern kitab suci akan dianggap hebat dan selaras dengan dunia modern jika ditafsirkan secara ilmiah dalam cahaya sains modern. Kitab suci harus “ilmiah” dan serasional sains jika ingin dianggap serius. Ayat-ayat kitab suci harus bisa diterima secara logis dan rasional. Nalar dan argumentasi rasional diajukan untuk memperkuat pernyataan kitab suci. Armstrong menyebutnya sebagai Sola ratio (“hanya nalar”).
Dalam Islam, sudah hampir satu abad proyek “Islamisasi sains” misalnya, terus menjadi kebanggaan. “Sains manusia” dan “sains semesta” terus dieksplorasi para penulis Muslim untuk menunjukkan keunggulan al-Quran dalam dunia modern. Padahal, bagi Armstrong, “ayat-ayat semesta”, baik makro maupun mikro (kosmos), adalah seni untuk “perenungan moral”. Ungkapan al-Qur’an “berjalanlah, lihat dan observasi alam semesta”, atau “apakah kalian tidak berfikir/merenung?” memancing pembaca untuk memandang jagad raya sebagai “hadirnya yang transenden dan tak terungkap”: Ia yang maha agung dan maha indah.
Jadi, ini soal moral dan seni imajinatif. Perenungan serius dalam seni imajinatif ini akan efektif menghasilkan transformasi moral dan spiritual. Jelas, tidak semata bahwa kitab suci bukan buku sains dan wilayah keduanya berbeda secara fundamental, tetapi juga bahwa “seni sains” sangat berbeda dengan seni moral. Hal yang paling penting untuk direnungkan, menurut Armstrong, adalah bahwa kebenaran kitab suci tidak pernah mengklaim dirinya bisa dibuktikan secara saintifik. Karena itu konsekwensinya, pendekatan saintifik terhadap kitab suci tidak hanya “kerja reduktif” tetapi yang fatal adalah “kejatuhan martabat agama itu sendiri”.
Kedua, model Sola scriptura: “hanya kitab suci”, maksudnya mengampanyekan untuk kembali kepada teks asli kitab suci (ad fontes). Cara ini umumnya menghasilkan pembacaan yang sangat literal, kering, dan keras kepala merasa paling benar. Inilah model purifikasi teologis, apakah yang terjadi sejak era Lutherian di abad ke-16 atau Wahabisme di abad ke-18, sebagai fenomena mencolok yang cukup digemari oleh orang-orang modern karena menawarkan “keaslian” dan “kepastian” (hitam-putih) dalam beragama. Padahal, kata Armstrong, di masa lalu para pembaca kitab suci tidak membabi buta berusaha menengok kembali ad fontes, tetapi selalu bergerak ke depan secara kreatif untuk menjawab tantangan baru.
Ketiga, Armstrong mengkritik para sarjana Barat yang berpandangan bahwa kitab suci, pada dirinya sendirinya, adalah sumber utama konflik dan permusuhan. Misalnya yang paling mencolok adalah Jack Nelson-Palmeyyer melalui karyanya Is Religion Killing Us?, Violence in The Bible and The Quran (2003), yang meyakini bahwa ayat-ayat dalam kedua kitab suci itu memang berisi ajaran kekerasan (violence) secara eksplisit, bahkan mendominasi. Orang-orang beragama yang isi kepalanya penuh dengan kebencian dan permusuhan terhadap siapa pun yang berbeda dengan mereka, menurut Palmeyyer, bukan karena ‘salah menafsirkan ayat’ tetapi ayat-ayat itu sendiri memang mengonfirmasi mereka untuk berperang. Model pembacaan reduktif Palmeyyer ini, tidak semata buta terhadap konteks-konteks partikular turunnya ayat, tetapi juga gagal memahami pesan agung kitab suci untuk “kemuliaan” dan “kehidupan” manusia, bukan untuk kematian.
Argumen pokok Armstrong tentang “seni kitab suci” adalah fakta ribuan ayat dalam kitab suci yang tidak semata mewartakan epos kepahlawanan, jatuh dan bangun suatu negeri, pencarian mendalam anak manusia akan kasih dan kebenaran murni, atau pergolakan batin tentang dendam dan rindu, tetapi juga bahwa kitab suci selalu mengandung “misteri” dan “ketidaktahuan total”. Model pembacaan pertama dan kedua di atas memunculkan oposisi biner “kami” dan “mereka”. Pembacaan melulu berbasis Sola ratio dan Sola scriptura melahirkan pandangan dan sikap bahwa “kami yang benar dan asli” sedangkan mereka “(musuh kami) adalah salah dan palsu”. Inilah polarisasi yang kini semakin mencolok.
Padahal kitab suci tidak pernah menegaskan kebenaran yang “tunggal dan total”. Kitab suci, dalam banyak kisah dan narasi, sering menghadirkan teka-teki dan paradoks. Tuhan digambarkan jauh (transenden) tapi sekaligus dekat (imanen). Ia mahakasih dan lembut (rahman, wadud, lathif) tapi sekaligus maha pendendam, otoriter, dan penyiksa (jabbar, qahhar, muntaqim). Orang-orang beriman yang menyadari “misteri agung” kitab suci akan menempatkan dirinya secara “rendah hati” dalam “ketidaktahuan total”. Sikap ini berbeda dengan model pembacaan pertama dan kedua yang sudah merasa pasti “inilah yang benar” atau “inilah yang logis dan rasional”, yang lain tidak.
Siapa pun boleh tidak sepakat dengan model pembacaan Armstrong. Tetapi sulit mengingkari bahwa agama sering tertuduh menjadi bagian di dalam disrupsi dan kekerasan dalam setengah abad terakhir. Bagi Armstrong, salah satu penyebab pokoknya adalah karena manusia modern gagal memahami seni kitab suci.
Akan ada banyak pertanyaan dan kritik terhadap Armstrong. Misalnya: Apakah betul jika memahami kitab suci dengan otak kiri: logis, rasional dan saintifik akan menghasilkan pemahaman agama yang kaku, kering dan keras? Apakah betul jika memahami kitab suci secara literal dan hitam putih akan melahirkan sikap keagamaan yang keras dan intoleran? Karena ada banyak juga orang beragama yang eksklusif secara akidah (merasa paling benar) tapi inklusif secara sosial (mau bergaul dan berinteraksi dengan orang yang beda agama dan beda paham).
Apakah salah jika kita memahami kitab suci dengan nalar saintifik karena ayat-ayat dalam kitab suci toh memberi “isyarat sains”? Karena ada banyak orang melakukan “saintifikasi kitab suci” atau “Islamisasi sains dan pengetahuan” toh tetap inklusif, tidak melakukan kekerasan atas nama agama? Apakah kitab suci hanya harus dipahami oleh otak kanan saja supaya kita punya empati dan spiritualitas? Apakah dengan cara begitu malah kita melakukan reduksi terhadap kitab suci? Dan lain-lain. Bagaimana pun ini satu model pembacaan Armstrong hasil riset yang mendalam. Dan Armstrong tetap istimewa pada posisinya sebagai sejarawan agama