Penulis: Hairus Salim, Kolumnis Tinggal di Yogyakarta
Kemenangan Argentina adalah hasil transformasi seorang Messi.
Tahun 1986 untuk pertama kalinya saya menonton piala Dunia, terutama finalnya yang melagakan Jerman vs Argentina. Saya mendukung Argentina, terutama karena ada nama Maradona di sana. Argentina memenangkan laga dengan kedudukan 3-2. Sebelumnya mereka sudah unggul 2 – 0 di babak pertama, tetapi melalui gol Rumminigie dan Rudy Voller kedudukan menjadi sama. Tetapi di menit 83, Burruchaga berhasil melesatkan gol setelah mendapat umpan dari Maradona melalui skema serangan balik yang cepat. Gol kedua Argentina juga dari umpan Maradona kepada Valdano.
Itu adalah pertandingan final piala Dunia terbaik yang saya tonton. Sejak itu saya menjadi pendukung Argentina dan juga menjadi fans Maradona. Dan sejak itu pula saya melihat final piala Dunia dengan ukuran final 1986 dan pemain hebat dengan parameter Maradona. Dan setelah itu final piala Dunia di mata saya tak pernah lagi menarik, kerap kali garing dan selalu berakhir dengan antiklimaks Maradona saat itu betul-betul menjadi jenderal lapangan tengah pasukan Argentina. Ia aktif naik turun hingga ke garis pertahanan sendiri untuk mempertahankan diri dari serbuan Jerman. Ia selalu mengobarkan semangat rekan-rekannya untuk tetap fokus, kuat dan pantang putus asa.
Itu adalah transformasi Maradona.
Dalam ajang 4 tahunan sebelumnya di Italia 1982, ia masih seorang remaja dengan sumbu pendek, gampang meledak, dan egois. Ia masih harus dipimpin, bukan memimpin. Temperemental. Hasilnya ia beroleh kartu merah dan dengan menangis meninggalkan lapangan hijau. Tapi di Piala Dunia 1986 Meksiko, dalam usianya yang ke 26, ia telah berubah menjadi seorang dewasa, pemimpin di lapangan, berlari ke atas ke bawah tak kenal lelah, dan memimpin pasukannya melawan kolektivitas tank Jerman.
Demikian juga yang terjadi pada Messi kemarin malam. Kemenangan Argentina adalah buah transformasi dirinya. Dalam piala-piala dunia sebelumnya, Messi adalah seorang pemain yang dipimpin bukan memimpin. Lebih individualis dari pada kolektif. Ia menunggu dan minta dilayani. Bukan mencari dan mengabdi. Sementara para rekannya tak mampu memenuhi hasratnya itu.
Ia tidak sedang main di Barca, tapi di tim Argentina. Ia tak punya pemain semacam Xavi yang setia melayaninya. Jadilah ia merana dan kalah dalam berbagai ajang Piala Dunia yang sempat membuatnya terpukul, putus asa hingga mundur dari timnas. Ia telah gagal.
Orang mengatakan bahwa di Argentina harus ada pemain seperti Xavi. Itu tidak mungkin dan tidak perlu. Yang harus berubah adalah Messi sendiri. Dan inilah yang dilakukannya. Momentum awalnya adalah ketika ia pindah –dengan motif apapun– dari Barca, tim yang sangat memanjakannya. Tim yang membuatnya pemain hebat, tapi bukan terbaik. Mengapa pindah dari Barca penting, karena ibarat orang terkungkung lama dalam rumah yang indah, kemudian keluar, ia kini melihat diri dan cara berelasinya dalam permainan dengan cara yang berbeda dan baru. Dan ketika kemudian dia bisa dibujuk untuk kembali ke timnas, maka orang hanya tinggal menunggu ledakannya.
Messi di beberapa piala Dunia sebelumnya jelas lebih kuat, lebih cepat, dan lebih trengginas dari segi skill maupun stamina dibanding di Piala Dunia Qatar ini. Tentu karena ia lebih muda. Tapi jelas dari segi visi sangat lemah. Sebaliknya dari segi mental di Piala Dunia Qatar ini ia jauh lebih kokoh. Pemain yang baik bukan hanya harus punya skill mumpuni tapi juga visi yang kuat. Kekalahan dengan Arab Saudi di awal pertandingan hanya makin mensolidkan jiwanya untuk tetap rapat dan kokoh di dalam tim. Pada babak perpanjangan waktu kemarin, kita lihat Messi sebenarnya tampak lelah, tapi ia tak henti memompa semangat rekan-rekannya dan menunjukkan dirinya dengan usaha yang kuat terus menerus.
Berbeda dengan Maradona yang butuh waktu 4 tahun untuk transformasi, Messi butuh hampir satu dekade. Yang bermakna bukan kemenangan itu sendiri, toh setiap empat tahun akan selalu ada pemenang, tapi lebih pada cara dan proses panjang yang mengkristal dalam sosok Messi menuju ke sana. Ia berjaya di usia yang tak lagi muda: 34 tahun.
Dan akhirnya keseruan final piala Dunia 1986 yang terpatri dengan indah di kepala lebih tiga dekade lalu hampir hendak dihapuskan oleh keseruan final tadi malam. Dan kehebatan Maradona di final 1986 itu juga seperti hendak digeser oleh Messi. Tapi tidak. Saya ingin menyimpan kedua pertandingan Dan kedua pemain ini sama hebatnya dalam album kegembiraan untuk hidup yang membosankan ini.
Dengan demikian, keduanya tetap menyala di ingatan.
Dan kini Messi ada di puncak. Dan ketika ia mencapai puncak ini sedang terbentuk seorang pemain yang juga punya bakat besar: Kylen Mbappe.