Banser dan Kiai

Oleh: KH. M. Faizi, Sumenep Madura

Susahnya jadi Banser jika ditugaskan mengatur parkiran di acara walimahnnya kiai. Banser ditugaskan oleh Kiai, tapi yang hadir dan harus diatur juga para kiai. Di salah satu walimah pernikahan, seorang Banser muda tampak lelah. Mungkin dia sudah capek karena sedari tadi ngatur parkir dan para tamu tidak taat saat parkir. Hingga, datanglah salah satu rombongan yang rada akhir, sebuah rombongan mobil Kijang dengan seorang kiai muda duduk di depan.

BANSER: “Terus, terus ke timur, parkir di bagian utara, mepet ke barat!”

(KIAI MUDA menyuruh sopir agar ikut parkir di baris depan saja, seperti mobil-mobil lain yang sudah parkir duluan dan formasinya sedikit menutup akses jalan karena parkirnya mepet depan (bukan dimulai dari baris belakang sebagaimana perintah banser yang bertugas mengatur parkir)

BANSER: (kepada sopir Kijang) “Ayo, terus ke belakang, mojok, mojok, ke utara, mepet barat! Terus, terus…”

KIAI MUDA: “Anu, Pak, ini penumpangnya poro kiai dan nyai… biar tidak terlalu jauh, kasihan. (Salah satu penumpang mobil Kijang itu, seorang nyai setengah baya, nyeletuk: “Kami ini zuriyyahnya Kiai Sepuh, lho, Pak!”)

BANSER: “Iya, saya tahu. Ini yang parkir juga poro kiai semua.”

KIAI MUDA: “Tapi, mengapa kok kami yang disuruh parkir di belakang? Kok mobil-mobil yang lainnya ini pada parkir di depan, malah cenderung nutup jalan?”

BANSER: “Saya ini kaki tangan Kiai, diperintah untuk mengatur parkir supaya rapi. Tapi, para tamu undangan yang datang ini juga mengaku kiai semua dan mereka tidak mau diatur. Mereka semua sama kayak Panjenengan ini, ngeyelan semua!”

KIAI MUDA yang tak berkumis itupun mendadak bersungut-sungut. Ingin marah, tapi kok salah. Mau tersenyum, tapi kok pahit.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *