KEAGUNGAN RAMADHAN

Oleh: Dr. Zaprulkhan, Dosen UIN Bangka Belitung

Ramadhan adalah samudera indah di mana sejuta mutiara kemuliaan tersimpan. Ramadhan adalah perbendaharaan sakral di mana segala keagungan terpendam. Ramadhan merupakan bulan di mana aneka ragam kebesaran bersemayam. Dan Ramadhan pun merupakan cakrawala kudus di mana semesta karunia tercurahkan. Sehingga semua aktivitas kita di bulan ini dinilai ibadah. Kecil yang kita lakukan, tapi besar pahalanya di sisi Allah. Ringan yang kita kerjakan, namun berat timbangannya di hadapan Allah. Bahkan tidurnya kita di bulan ini dinilai ibadah oleh Allah.

Sehingga demi keagungan dan kemuliaan Ramadhan, kita semua berfastabiqul khoirot, berlomba-lomba dalam kebajikan. Sekarang yang menjadi pertanyaannya adalah apa yang menyebabkan Ramadhan menjadi begitu mulia? Apa yang mengantarkan Ramadhan menjadi sedemikian agung, sampai-sampai seluruh kegiatan kita ada nilai plusnya?

Padahal kalau kita lihat secara lahiriah, maka bulan Ramadhan tidak berbeda dengan bulan-bulan yang lain. Ramadhan tidak berbeda dengan bulan Rajab dan Sya’ban. Ramadhan tidak berbeda dengan bulan Syawal dan Muharram, atau bulan-bulan lainnya. Bila kita lihat secara analitis, dalam sebulan berisi tiga puluh hari. Dalam sebulan ada empat minggu dan dalam seminggu berjumlah tujuh hari, dari hari Ahad sampai hari Sabtu.

Tapi mengapa kemuliaan bulan Ramadhan mengalahkan kemuliaan bulan-bulan lain? Kenapa kebesaran dan keagungan bulan ini jauh melebihi kebesaran dan keagungan bulan-bulan yang lain? Ini merupakan pertanyaan yang harus kita cari jawabannya.

Orang bijak mengatakan: “Kullu syain sababun”, ada sebab untuk segalanya”. Begitu pun dengan Ramadhan, walaupun secara zhahir sama dengan bulan-bulan lain, pasti ada sesuatu yang menyebabkan Ramadhan menjadi paling mulia di antara sebelas bulan lainnya.

Secara analogis, memang kita boleh mengatakan mobil sedan Timor dan Honda Civic sama dalam hal bodinya. Tapi kita tidak boleh menyamakan keduanya dalam hal kualitasnya. Sebab mesin mobil Honda Civic jauh lebih berkualitas dari pada mesin sedan Timor. Kita boleh menyamakan perak dan permata dalam hal sebagai perhiasannya. Namun kita tidak bisa menyamakan keduanya dalam hal mutunya. Kenapa demikian? Karena dari setiap sudut permata memancarkan pesona cahaya yang berbeda.

Dalam hal ini, Ramadhan yang kebesaran, kemuliaan, dan keagungannya mengalahkan bulan-bulan lain disebabkan bulan inilah menjadi bulan pilihan Allah untuk pertama kalinya Al-Quran diturunkan. Al-Quran merekam momen bersejarah ini:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ

“Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang hak dan yang bathil” (Al-Baqarah: 185).
Jadi, karena di bulan Ramadhan inilah pertama kali Al-Quran diturunkan, hingga Ramadhan diangkat oleh Allah menjadi sangat istimewa. Sampai di sini mungkin timbul pertanyaan selanjutnya, sedemikian agungkah Al-Quran hingga dapat menyebabkan Ramadhan menjadi agung pula? Begitu muliakah Al-Quran sampai-sampai bisa mengantarkan Ramadhan menjadi bulan termulia di antara bulan-bulan yang lain?

Jawabnya jelas positif: betul, memang Al-Quran sangat agung dan mulia. Karena itu pada pertemuan yang singkat ini, mari kita bicarakan sedikit kemuliaan dan keagungan Al-Quran dengan harapan supaya kita dapat merasakan keagungan dan kemuliaan Ramadhan.

Pertama, dari segi bacaan dan bahasa Al-Quran. Konon pertama kali manusia mengenal tulisan dan bacaan sudah sejak lima ribu tahun yang lalu. Sejak saat itu sampai sekarang ternyata tidak ada satu bacaan pun yang dapat menandingi keagungan dan kemuliaan Al-Quran.

Dalam sejarah ditemukan tidak ada bacaan seperti Al-quran yang dibaca oleh ratusan juta orang yang tidak mengerti artinya. Tidak ada bacaan yang dihapal surat demi surat, ayat demi ayat, bahkan huruf demi huruf selain Al-Quran. Pernahkah kita mendengar bacaan yang diatur tata cara membacanya seperti Al-Quran?

Ketika membacanya, harus diperhatikan mana yang dipertebal dan mana yang diperhalus ucapannya; di mana yang harus berhenti dan harus terus; juga diatur lagu dan iramanya sampai adab membacanya. Pernahkah kita menemukan bacaan yang digali kandungan maknanya sebagaimana Al-Quran?

Ratusan ribu bahkan jutaan kitab telah dikarang untuk menjelaskan kandungan makna Al-Quran. Generasi demi generasi telah menuangkan hal-hal yang berbeda sesuai dengan kemampuan dan kecenderungan mereka. Setiap saat mufassir menampilkan hal-hal baru yang belum diungkap oleh generasi sebelumnya tentang isi Al-Quran.

Pernahkah kita mendapatkan bacaan melebihi Al-Quran dalam perhatian manusia kepadanya? Diperhatiakan bukan cuma sejarah turunnya secara umum, tetapi juga ayat demi ayat. Dipelajari bukan saja dari segi masa dan musimnya, tapi juga sebab-sebab serta waktu-waktu turunnya.

Surat ini turun ketika di tengah perjalanan; Surat ini turun saat berada di Makkah; Ayat ini turun sewaktu Nabi di Madinah; Surat ini turun sebab ada suatu masalah; Ayat ini turun untuk menjawab suatu persoalan. Luar biasa sekali, setiap sisinya diperhatikan dan dipelajari dengan teliti.

Yang lebih menakjubkan lagi, Al-Quran memberi ketenangan dan kedamaian jiwa bagi siapa saja yang membacanya, baik dia mengerti artinya atau tidak, baik dia orang Islam atau non-Muslim.

Suatu waktu pusat kedokteran Universitas Boston di Amerika mengadakan penelitian tentang pengaruh bacaan Al-Quran kepada orang-orang di luar agama Islam. Mereka melakukan penelitian dengan menggunakan komputer yang bisa mengukur pengaruh bacaan Al-Quran terhadap seseorang. Ternyata Al-Quran memberi kedamaian jiwa sampai tingkat enam puluh lima persen kepada orang-orang non-Muslim yang tidak mengerti artinya.

Inilah salah satu rahasianya mengapa banyak orang yang mau bahkan senang sekali membaca Al-Quran berulang-ulang kali walaupun mereka tidak memahami artinya. Itu baru dari segi bacaan, lalu bagamana dari aspek bahasanya? Bahasa Al-Quran mempunyai keindahan baik dari nada dan langgamnya, dari singkat dan padatnya, dari aspek memuaskan para pemikir, maupun dari aspek keseimbangan dan keserasian kata-katanya.

Sabagai contoh misalnya, keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan lawan katanya. Kata hayat dan maut sama-sama terulang sebanyak seratus empat puluh lima kali. Kata naf’u terulang sebanyak lima puluh kali sama dengan kata fasad. Kata akhirat terulang sebanyak seratus lima belas kali sama dengan kata dunia. Dan kata malaikat disebutkan dalam Al-Quran sebanyak delapan puluh delapan kali sama dengan jumlah kata setan.

Begitu juga ditemukan keseimbangan-keseimbangan khusus yang ada hubungannya dengan konteks nyata kehidupan kita. Seperti kata yaum, yang berarti hari dalam bentuk tunggal terulang sebanyak 365 kali, sama dengan jumlah hari-hari dalam setahun. Sedangkan dalam bentuk jamak, ayyamun diulang 30 kali sama dengan jumlah hari dalam sebulan. Di sisi lain, kata asyhurun, yang berarti bulan berjumlah 12 kali, sama dengan jumlah bulan dalam setahun. Dan masih banyak lagi keseimbangan dalam Al-Quran yang membuat kita kagum ketika membacanya.

Kedua, dari dimensi petujuk. Allah menegaskan tentang petujuk Al-Quran:

إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ

“ Sesungguhnya Al Quran Ini memberikan petunjuk kepada jalan terbaik” (QS. Al-Isra’: 9).

Jadi bukan cuma baik tapi terbaik. Al-Quran menjadi pedoman paripurna bagi kehidupan umat manusia.

Jika kita ingin meraih kemuliaan hidup, Al-Quran bukan hanya akan mengantarkan kita meraih kemuliaan hidup di dunia, tapi juga kemuliaan di akhirat. Jika kita mendambakan kesuksesan hidup, Al-Quran akan mampu menyuguhkan ke hadapan kita kesuksesan duniawi sekaligus kesuksesan ukhrawi. Dan jika kita sangat merindukan kekayaan, Al-Quran akan menghadirkan ke hadapan kita bukan hanya kekayaan material, tapi juga kekayaan intelektual, emosional, sekaligus kekayaan spiritual.

Silahkan baca dan hayati Al-Quran, namun yang lebih penting implementasikan apa yang dinasihatkan Al-Quran. Silahkan pahami dan renungkan Al-Quran. Tapi jangan lupa, aplikasikan apa yang diperintahkannya. Insya Allah nanti kemuliaan, kesuksesan, dan kekayaan hakiki akan senantiasa menyertai kehidupan kita. Hadzal Quran, inilah Al-Quran. Kita mungkin berharap sedikit tapi diberi banyak. Kita mungkin minta seadanya namun diberi lebih. Laksana seorang nelayan yang melemparkan jala ke dalam lautan dengan harapan mendapatkan pangan yang bisa mencukupi kebutuhan hidupnya beberapa hari. Namun begitu jala itu ditarik, didapatinya seonggok intan permata yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sepanjang masa. Hadzal Quran, inilah Al-Quran.

Ketiga, keakuratan prediksi Al-Quran tentang peristiwa-peristiwa di masa depan. Mari kita lihat salah satu contohnya. Dalam rentangan sejarah silam, ada sebuah fakta fenomenal yaitu mengenai Fir’aun yang mati tenggelam di lautan sewaktu mengejar Nabi Musa as. Ketika Fir’aun telah tenggelam, Allah menyatakan bahwa tubuh atau jasad Fir’aun akan diselamatkan untuk menjadi pelajaran bagi generasi-generasi berikutnya. Al-Quran melukiskannya demikian:

فَالْيَوْمَ نُنَجِّيكَ بِبَدَنِكَ لِتَكُونَ لِمَنْ خَلْفَكَ آيَةً وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ عَنْ آيَاتِنَا لَغَافِلُونَ

“Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami” (QS. Yunus: 92).

Peristiwa tenggelamnya Fir’aun ini terjadi sekitar tahun seribu dua ratus Sebelum Masehi. Kalau kita hitung dari sekarang, kejadian itu sudah berlalu kira-kira tiga ribu dua ratus tahun. Tak seorang pun yang mengetahui hal ini secara pasti. Menurut sejarah, tubuh Fir’aun terdampar di pantai dan ditemukan oleh orang-orang Mesir. Lalu oleh mereka dibalsem sehingga tetap utuh terjaga. Kemudian pada akahir abad 19, tepatnya pada tahun 1896, seorang ahli purbakala yang bernama Loret, menemukan sebuah mumi di lembah Raja-raja Luxor Mesir.

Setelah diperiksa dari data-data sejarah, ternyata terbukti bahwa tubuh itu adalah Fir’aun yang aslinya bernama Maniptah. Selanjutnya, pada tanggal 8 juli, tahun 1908, Elliot Smith mendapat izin dari pemerintah Mesir untuk membuka pembalut-pembalut Fir’aun tersebut. Apa yang ditemukan ternyata satu jasad utuh seperti yang diberitakan Al-Quran. Bayangkan, sebuah peristiwa yang terjadi sudah lebih dari tiga ribu tahun ternyata mampu diprediksi oleh Al-Quran dengan ketepatan yang sangat menakjubkan. Semua fakta ini menunjukkan bahwa Al-Quran merupakan kalam Ilahi yang langsung turun dari Tuhan Yang Maha Mengetahui segala episode kehidupan masa lalu, hari ini, maupun masa depan.

Keempat, kehebatan Al-Quran dalam menggugah akal sekaligus jiwa manusia. Al-Quran mampu menyentuh nalar bersmaan dengan kalbu kita. Kebanyakan ayat-ayatnya mengajak kita berkontemplasi, merenungi hakikat kehidupan. Saya takjub dengan sebuah ilustrasi yang Allah berikan dalam surat Al-Hasyr ayat 21, di mana Allah membuktikan kehebatan firman-Nya dalam mengajak kita bertafakkur.

Dalam ayat itu dilukiskan:

لَوْ أَنْزَلْنَا هَذَا الْقُرْآنَ عَلَى جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ وَتِلْكَ الأمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

“Seandainya Al-Quran Ini Kami turunkan kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. dan perumpamaan-perumpamaan itu kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir” (QS. Al-Hasyr: 21)

Dalam ayat ini Allah menjelaskan dengan menggunakan perumpamaan (amtsal) atau metafora. Maka kita pun dalam memahami ayat ini harus memakai perumpamaan namun akhirnya akan tetap mempunyai makna yang sangat aktual. Maksudnya apa? Maksudnya seandainya saja sebuah gunung, bagaimana pun besarnya gunung itu dan betapa pun tingginya gunung itu sekali pun ia puncak Himalaya, kalau gunung itu mempunyai akal dan pikiran seperti kita layaknya manusia; memiliki perasaan dan hati nurani sebagaimana kita umumnya manusia, Al-Quran dengan tegas mengatakan laroaitahu khoosyi’an mutashoddi’an, niscaya engkau lihat gunung itu tertunduk dan hancur berkeping-keping.

Yang menarik, dalam ayat ini menggunakan lammul ibtida’ yang masuk pada fi’il madhi di mana berfungsi sebagai taukid, memberi penegasan atau penekanan. Yakni memberi penekanan makna yang berarti keniscayaan atau kepastian. Jadi, kalau saja gunung itu mempunyai akal dan pikiran, serta mempunyai perasaan dan jiwa seperti kita manusia, maka Al-Quran memastikan laroaitahu, pasti gunung itu akan tertunduk khusyuk dan hancur berantakan; min khosyatillah, karena begitu takutnya kepada Allah.

Nah, sekarang bagaimana kontekstualnya? Kita lihat akhir ayat: laallahum yatafakkarun, agar kita semua mau memikirkannya. Natijah dari akhir ayat ini mengajak kita untuk melakukan refleksi dan bertafakkur mengambil hikmahnya. Apa hikmahnya? Adakah pantas kita manusia yang dhoif dan lemah ini tidak tersentuh oleh ayat-ayat Al-Quran? Pantaskah kita insan yang memiliki akal pikiran ini tidak tergugah dengan nasihat-nasihat Al-Quran? Layakkah kita sebagai manusia yang mempunyai hati nurani, perasaan, dan jiwa ini tidak tersentuh juga dengan ajakan-ajakan Al-Quran?

Pantaskah sebongkah salju tidak mencair ketika diterpa wajah sang mentari? Padahal kita sebagai insan yang mempunyai akal dan pikiran, sebagai menusia yang memiliki perasaan dan jiwa adalah lebih pantas untuk khusyuk dan tunduk, untuk tersentuh dan tergugah ketika merenungi ayat-ayat Al-Quran daripada mencairnya sebongkah salju saat diterpa sinar matahari.

Di sinilah, walaupun Al-Quran menggunakan metafora namun tetap mempunyai keaktualan makna yang dapat kita realisasikan dalam kehidupan nyata. Sebab ayat ini tidak cuma mengajak kita merenungi, tetapi mengajak kita juga untuk menghayati. Bukan hanya membimbing kita untuk mengenal kebesaran dan keagungan Al-Quran, tapi lebih dari itu membawa kita untuk merasakan kebesaran dan keagungan Al-Quran. Al-Quran menyentuh pikir sekaligus dzikir kita, menggugah perasaan bersamaan dengan jiwa kita.

Karena itulah, jika kita mempunyai kebesaran dan kekuatan, maka kebesaran dan kekuatan itu ada di dalam Al-Quran. Bila kita memiliki kemuliaan dan keagungan, maka kemuliaan dan keagungan itu terdapat dalam Al-Quran. Dan kalau kita mempunyai kekayaan dan kebanggaan, maka jelaslah kiranya kekayaan dan kebangggaan itu berada dalam Al-Quran.

Akhirnya semoga Allah, Al-Fattah, Tuhan Yang Maha Membuka, berkenan membuka secercah keagungan dan kebesaran Al-Quran kepada kita; Membuka setetes kemuliaan dan kehebatan firman-firman-Nya kepada kita sehingga kita bisa merasakan keagungan dan kemuliaan Ramadhan, amin ya Fattah ya ‘Alim.

Wallahu a’lam bish showab…

2 thoughts on “Keagungan Ramadhan, Keagungan Al-Qur’an”
  1. Akhirnya semoga Allah, Al-Fattah, Tuhan Yang Maha Membuka, berkenan membuka secercah keagungan dan kebesaran Al-Quran kepada kita; Membuka setetes kemuliaan dan kehebatan firman-firman-Nya kepada kita sehingga kita bisa merasakan keagungan dan kemuliaan Ramadhan, amin ya Fattah ya ‘Alim.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *