Penulis: Prof. Dr. Abad Badruzzaman, Guru Besar UIN SATU Tulungagung
6-8 Maret kemarin saya melakukan—sebut saja-Tour de Batavia; mengunjungi beberapa perguruan tinggi di Jakarta dan Bogor. Mulai dari Ciputat. Di sana saya ke Fakultas Dirasat Islamiyah (FDI) UIN Jakarta dan ke Fakultas Ushuluddin Institut Ilmu al-Quran (IIQ). Kemudian, besoknya ke Universitas Paramadina Jakarta. Besoknya lagi ke Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (Uhamka) Jakarta. Tadinya kunjungan ke Uhamka akan jadi penutup. Tapi kakak-senior waktu mondok zaman Aliyah tahu saya sedang di Jakarta. Beliau berharap saya datang juga ke Universitas Ibnu Khaldun (UIKA) Bogor, kampus tempat beliau mengajar.
Kakak-senior itu menghadiahi saya buku: “Sunah Nabi Saw. Jawaban Ilmu Hadis atas Wacana Dekonstruksi,” karya beliau sendiri. Pertama-tama buku ini menjelaskan apa itu dekonstruksi. Ia menunjuk Jacques Derrida (1930-2004) sebagai penggagas dekonstruksi. Dikatakan bahwa dalam pandangan dekonstruksi setiap teks dapat dibaca secara ganda. Langkah pertama menyingkap makna asli secara linguistik. Lalu langkah kedua membongkar makna yang dihasilkan langkah pertama dengan membenturkan makna itu dengan makna sebaliknya.
Penulis buku menegaskan bahwa dekonstruksi merupakan kerja hermeneutika ketika menginterpretasi teks. Kerja hermeneutis ini berargumen bahwa teks tak lain merupakan simbol. Karenanya, ia dapat dibaca dan dibaca ulang dengan tekanan makna yang berkebalikan. Dalam kacamata dekonstruksi, tidak ada bacaan yang valid karena pembacanya tidak bebas dari misreading. Makna-makna yang telah dipilih pembaca harus terus dikritisi. Hal demikian semakin terbuka dengan kesadaran yang telah disebutkan, yakni karakter metafora atau watak simbolis yang melekat pada setiap teks.
Tapi kemudian maksud “dekonstruksi” yang ada dalam buku ini bergeser dari makna yang dikembangkan Derrida. Jika dekonstruksi-nya Derrida ada di wilayah makna; bahwa makna lama dari sebuah teks bisa dirobohkan lalu dibangun di atasnya makna baru untuk teks yang sama, dekonstruksi yang dimaksud buku ini adalah gerakan “terstruktur” untuk meruntuhkan kepercayaan terhadap kedudukan dan fungsi Sunnah. Gerakan ini, kata buku ini, dipelopori oleh kaum orientalis dan ditingkahi dengan “suka-cita” oleh golongan liberal dan kelompok Syiah.
Proyek dekonstruksi dalam pengertian di atas, kata buku ini, memiliki sekurangnya tujuh agenda besar: menggugat konsep dan kedudukan sunnah, mempertanyakan keadilan (kredibilitas/integritas) sahabat Nabi, mengkritisi sejarah kodifikasi sunnah, seputar pemalsuan hadis, kritik akal terhadap teks hadis, kritik historis, dan kritik terhadap kitab Bukhari dan Muslim.
Saya tidak akan mereview seluruh bantahan buku ini terhadap tujuh agenda kaum orientalis-liberal-Syiah tersebut. Karena satu dan lain-hal, saya hanya akan menunjuk beberapa nama yang oleh buku ini disebut sebagai orientalis, liberal, dan Syiah; bagaimana pandangan mereka tentang sunnah, lalu bagaimana buku ini menanggapinya.
Orientalis
Dari kalangan orientalis, buku ini menunjuk dua nama: Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht. Ini adalah beberapa poin pemikiran Goldziher dan Schacht:
1. Materi-materi sunnah umumnya merupakan kelanjutan tradisi pra-Islam.
2. Sunnah umumnya merupakan hasil pemikiran bebas para ulama generasi awal, diambil dari tradisi yang berlangsung ketika itu dengan ijtihad-ijtihad pribadi mereka. Tradisi itu diperkaya dengan sumber-sumber Yahudi, Kristen, Byzantium, dan Persia.
3. Apa yang disebut sunnah tidak lebih dari kebiasaan umat Islam generasi awal yang kemudian disandarkan kepada Nabi.
Liberal
Dari kelompok liberal, buku ini antara lain menyebut Fazlur Rahman, Nurcholish Madjid (Cak Nur), dan Jalaluddin Rakhmat (Kang Jalal). Yang disebut terakhir sekaligus mewakili kelompok Syiah.
Rahman, kata buku ini, menguatkan pandangan orientalis yang menyebut kebanyakan sunnah praktis umat Islam generasi awal merupakan ijtihad individu yang mengkristal di tengah masyarakat. Namun, berbeda dengan orientalis yang menyebut ijtihad itu sebagai murni kreasi generasi awal, Rahman meyakini ijtihad-ijtihad itu mengekspresikan contoh-contoh yang dilakukan oleh Nabi dalam hidupnya yang disaksikan oleh para sahabat. Dalam kerangka makna ini, sunnah yang tak lain ijtihad generasi awal tersebut lebih pas disebut ijmak.
Sedangkan Cak Nur, kata buku ini, berpandangan bahwa hadis dan sunnah tidak sinonim meski berhubungan. Sunnah lebih umum dari hadis karena mengandung makna yang lebih mendasar. Sumber hukum yang kedua, kata Cak Nur, adalah sunnah bukan hadis. Cak Nur juga berpendapat sunnah Nabi yang diperoleh dari Al-Quran lebih banyak dari yang diperoleh dari kitab-kitab hadis. Tidak seperti Rahman yang menolak sunnah sebagai sumber hukum, Cak Nur hanya menolak hadis sebagai sumber hukum. Adapun sunnah, menurutnya, tetap merupakan sumber hukum.
Terakhir, Kang Jalal. Kata buku ini, Kang Jalal sejatinya “senafas” dengan Rahman dan Cak Nur. Mereka hanya berbeda pada titik yang tidak substansial. “Core” mereka sama: liberal! Kang Jalal dan Cak Nur hanya beda pandangan mana lebih dulu ada: sunnah atau hadis. Sunnah dulu, baru hadis. Ini kata Cak Nur. Menurut Kang Jalal sebaliknya: hadis dulu, baru sunnah. Seperti umumnya kita, Kang Jalal juga mengakui bahwa hadis merupakan berita tentang sabda, perbuatan dan ketetapan Nabi. Sebagian sahabat, tegas Kang Jalal, menuliskannya dalam catatan mereka. Sabda, perbuatan dan sikap Nabi yang dicatat oleh sebagian sahabat itulah namanya hadis. Dan itu, tandas Kang Jalal, sudah ada sejak awal.
Tapi kemudian, masih kata Kang Jalal, dalam sejarah Islam pernah ada kebijakan politik melarang penulisan hadis, bahkan perintah untuk membakar catatan hadis yang ada. Hilangnya catatan hadis membuat orang meriwayatkannya secara verbal. Dalam pada itu, pandangan dan pemahaman periwayat “menyusup” ke dalam hadis. Ijtihad periwayat menjadi bagian dari riwayat lalu dinisbatkan ke Nabi. Ketika itu, hadis bergeser jadi sunnah.
—————
Bagaimana buku ini menanggapi Trio (orientalis, liberal, dan Syiah) “dekonstruksi” sunnah/hadis di atas? Saya kutipkan apa adanya dari buku ini sebuah ilustrasi tentang betapa kokoh-kuatnya bangunan ilmu hadis sehingga betapa “sia-sia”-nya upaya Trio tersebut. Ilustrasi itu sekaligus, dalam hemat saya, inti dari bantahan (jawaban) buku ini terhadap apa yang disebutnya sebagai “wacana dekonstruksi” sunnah. Berikut kutipannya:
“Bayangkan, sebuah gedung besar dan bertingkat tinggi sudah selesai dikerjakan oleh ribuan orang dalam waktu yang sangat panjang. Tiba-tiba, ada seorang yang menggugat bahwa pondasi gedung itu salah. Dia ngotot untuk membongkarnya sendirian. Kemungkinan besar, dia tidak akan mampu mengerjakannya. Seandainya Allah menakdirkannya mampu membongkarnya, kemungkinan besar tidak akan mampu membangun kembali gedung yang sudah runtuh itu. Inilah yang disebut dekonstruksionisme, yaitu skeptisisme liberal terhadap suatu konsep yang sudah mapan, kemudian berusaha meruntuhkannya, dan tidak peduli apakah setelah itu ia dapat berdiri kembali atau tidak.”
Relevankah menganalogikan bangunan ilmu hadis yang sudah mapan dengan bangunan fisik berupa gedung besar bertingkat yang kokoh-kuat? Monggo, terserah Antum sekalian. Di sini saya tidak akan “membela” siapa pun. Yang jelas, meski banyak belajar dari kaum orientalis, rasanya berlebihan bila saya disebut satu komplotan dengan mereka. Saya memang pengagum Fazlur Rahman dan Nurcholish Madjid, tapi saya tidak peduli apakah mereka liberal atau bukan. Saya hanya melihat mereka berupaya menyegarkan kembali cara pandang dan pemahaman kita tentang Islam serta bagaimana berislam dalam konteks waktu dan tempat yang sudah amat jauh dari waktu dan tempat asalnya. Tentang Jalaluddin Rakhmat? Baca saja status Facebook saya, antara lain berjudul “Kang Jalal” (16 Februari 2021), dan “Himbauan untuk ‘Syiah’-nya Kang Jalal” (19 Februari 2021). Dari dua tulisan ini saja insyallah Anda akan paham seperti apa sikap saya tentang Kang Jalal.
Tentang buku ini? Terus terang, saya lebih banyak tidak sependapatnya ketimbang sependapatnya. Hal demikian saya rasa biasa belaka. Penulis buku ini adalah kakak-senior yang amat saya muliakan. Harus diakui, beliau adalah salah seorang yang saya hormati karena kecintaannya pada buku dan ilmu. Namun demikian, bagi saya, perbedaan pandangan sama sekali tidak memunggungi pemuliaan dan penghormatan. Kita rayakan perbedaan pandangan sebagai kelanjutan logis bahwa kita mengaku pecinta ilmu dan penikmat keragaman pendapat. Jangan kuatir dengan perbedaan pendapat, karena yang kerap membuat kita “berantem” bukan beda pendapat, melainkan beda pendapatan
SANGAT BERMANFAAT