Oleh: Prof. Dr. Jajang A. Rohmana, Guru Besar Tafsir UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Baru selesai baca buku yang lumayan provokatif dari Mustafa Akyol, sarjana asal Turki. Isinya membicarakan tentang kritik dan gagasan untuk membuka kembali pemikiran kaum Muslim yang disebutnya sedang mandek.
Secara garis besar, tema yang dibicarakan Akyol sudah cukup banyak diperbincangkan. Misalnya, kritik atas ajaran Jabariyah dan Asy’ariyah yang mendominasi dunia Islam saat ini. Ajaran fideisme dan voluntarisme yang dianutnya membuat akal tersisih.
Terlihat kegeraman Akyol atas situasi yang mendera kaum Muslim tersebut. Ia mendorong sebuah pemikiran yang mengedepankan akal, filsafat dan menghidupkan kembali pemikiran Mu’tazilah dan ajaran kemanusiaan agar kaum Muslim dapat bergabung dengan bangsa lain di dunia yang mengedepankan nilai universal kemanusiaan.
Diawali dari dukungannya atas pesan penting dalam cerita Hayy bin Yaqzan, lalu menelusuri sebab ketertinggalan Muslim melalui teologi. Di sini, Akyol banyak bicara tentang doktrin kebebasan akal, kemenangan Asy’ari, hilangnya hati nurani sebagai sumber moral, dan tersisihnya nilai universal HAM di kalangan kaum Muslim. Ia begitu kagum dengan Ibn Rusyd dan Ibn Khaldun sebagai bukti kuatnya rasionalitas, sebaliknya mengkritik Asy’ari, Al-Ghazali, Al-Mawardi, Ibn Taymiyah dan sederet kelompok yang meminggirkan akal, seperti para pengikut mazhab fikih dan ahli hadis. Ia kemudian sepakat dengan sikap Murji’ah sebagai solusi mengakhiri perbedaan kelompok dalam Islam.
Akyol banyak memberikan contoh untuk menguatkan argumennya tentang pentingnya kembali pada akal dan nilai universal kemanusiaan. Ia mencontohkan pada kasus perbudakan, isu perempuan, kemerosotan sains di dunia Islam, munculnya polisi agama, isu kemurtadan dan penistaan agama.
Dari sekian banyak nama sarjana yang sejalan dengan sikapnya, ia menyebut dua nama asal Indonesia, Mustofa Bisri dan Aan Anshori, yang dikutipnya untuk memperkuat argumennya.
Buku ini ditulis oleh seorang Muslim Turki yang pernah merasakan diinterogasi dan diusir oleh polisi agama Malaysia selepas acara diskusi dengan IRF Malaysia, karena pemikirannya dianggap membahayakan.
Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Pasca mati surinya JIL karena ditinggal para pendirinya, belum muncul lagi pemikiran yang seberani Akyol. Tak ada lagi yang melakukan kritik pemikiran terhadap serbuan pemikiran ultra-konservatif yang semakin massif. Sebagian pendukung gagasan progresif dan liberal memilih jalan berputar untuk menekuni kritik kesejarahan Islam dan Al-Qur’an, tidak menyentuh problem pemikiran teologi, fikih, sains dan politik yang mengganggu kemajuan kaum Muslim hari ini. Kebanyakan para pendukungnya memilih mencari aman dengan kembali pada pondasi dasar Sunni yang dianut mayoritas kaum Muslim dan didukung oleh negara.
Membaca Akyol, sepertinya ia cenderung pesimis mengharapkan adanya kebangkitan pemikiran Islam dari Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya di tengah problem akut pemikiran yang menghambatnya.
Argumen Akyol adalah bahwa kita perlu kembali pada akal dan nilai universal kemanusiaan sebagai cara untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat modern. Contoh-contoh yang dia berikan, seperti perbudakan, isu perempuan, kemerosotan sains di dunia Islam, munculnya polisi agama, isu kemurtadan, dan penistaan agama, semuanya menunjukkan bagaimana nilai-nilai universal kemanusiaan telah diabaikan atau dilupakan oleh masyarakat dalam beberapa kasus.
Akyol berargumen bahwa dengan kembali pada akal dan nilai universal kemanusiaan, kita dapat menemukan solusi untuk masalah-masalah ini. Misalnya, dengan mengakui bahwa semua manusia memiliki hak yang sama dan tidak boleh diperbudak, kita dapat mengatasi masalah perbudakan. Dengan menghargai martabat perempuan sebagai manusia yang sama seperti pria, kita dapat memperjuangkan kesetaraan gender.
Dalam contoh-contoh lain, Akyol mengkritik pengabaian nilai-nilai universal kemanusiaan sebagai akar masalah. Misalnya, dia menunjukkan bagaimana kemerosotan sains di dunia Islam terjadi ketika masyarakat mulai mengabaikan nilai-nilai rasionalitas dan empirisme dalam pengembangan pengetahuan. Kemunculan polisi agama, menurut Akyol, juga menunjukkan bagaimana masyarakat dapat jatuh ke dalam pengabaian nilai-nilai universal kemanusiaan, dengan mengesampingkan hak individu untuk memilih dan menjalankan keyakinan agama mereka sendiri.
Dalam semua contoh ini, Akyol mengajukan argumen bahwa penting bagi kita untuk kembali pada akal dan nilai-nilai universal kemanusiaan sebagai cara untuk mengatasi masalah-masalah ini. Dalam hal ini, contoh-contoh tersebut mendukung argumennya dengan menunjukkan bagaimana pengabaian nilai-nilai universal kemanusiaan dapat mengarah pada masalah sosial dan politik yang serius.
Gebrakan Akyol dalam hal ini mengajak kepada kita semua untuk membuka mata terhadap fenomena yang terjadi di masa sekarang. Munculnya isu tentang nilai- nilai kemanusiaan dikalangan umat islam yang muncul belakangan ini belum mendapat respon yang cepat. isu gender (perempuam) kasus perbudakan, kemerosotan sains di dunia Islam, munculnya polisi agama, isu kemurtadan dan penistaan agama.yang sudah lama mencuat dipermukaan sepertinya dianggap hal biasa sebagai pewarna dalam persoalan yang muncul dimasyarakat.
Argumen Akyol menyentil ranah kritis kita untuk ikut andil dalam pergolakan yang ada. nilai- nilai kemanusiaan harus di kedepankan dengan tidak meninggalkan pedoman.
Akyol jugan mengkritik pengabaian nilai-nilai universal kemanusiaan sebagai akar persoalan ‘kemandekan’ pemikiran islam.
Kekhawatiran Aknyol cenderung pesimis mengharapkan adanya kebangkitan pemikiran Islam dari Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya di tengah problem akut pemikiran yang menghambatnya.