Penulis: Prof. Dr. Abad Badruzzaman, Guru Besar UIN SATU
Ini buku keenam karya Prof. Mun’im Sirry yang saya miliki. Lima buku beliau sebelumnya yang ada di rak buku saya: Kontroversi Islam Awal (Mizan: 2015), Kemunculan Islam dalam Kesarjanaan Revisionis (Suka Press: 2017), Polemik Kitab Suci (Gramedia: 2013), Tradisi Intelektual Islam (Intrans: 2015), dan Rekonstruksi Islam Historis (Suka Press: 2021). Yang “Tradisi Intelektual Islam” saya malah punya dua, satu saya beli tahun 2019, satunya 2021. Kok bisa gitu ya? Karena punya dua, rencana yang satu saya kasihkan ke kamu. Eh…nggak ding. Akan saya kasihkan ke Perpustkaan Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Dakwah (FUAD) UIN SATU.
Buku keenam yang saya punya dari karya Prof. Mun’im Sirry ini, Koeksistensi Islam-Kristen: Ngobrol Sejarah dan Teologi di Era Digital (Suka Press: 2022), Saya membawanya ke panggung wisuda. Di sela-sela menyaksikan 1.500 wisudawan dipindahkan kuncirnya oleh Pak Rektor; di sela-sela tengok kiri-kanan ngobrol dengan sesama Anggota Senat; di sela-sela membalas dan mengirim WA, sambil duduk di panggung wisuda, saya membaca buku “Koeksistensi Islam-Kristen.” Lumayan, Pengantar dan dua judul “berhasil” saya baca.
Dua judul yang saya baca itu tidak sesuai urut pada Daftar Isi. Dua judul itu saya pilih lantaran keduanya paling menarik di antara judul-judul lainnya. Ini: “Trinitas Qur`ani” dan “Pindah Agama Demi Pacar.” Judul yang pertama menarik secara akademik dengan salah-satu indikasi: mengernyitkan dahi sambil menopang dagu dengan sebelah tangan karena yang sebelah lagi pegang buku. Judul yang kedua menarik secara “sosiologis” dengan taburan rasa “geli-geli gimana gitu (lucu)” dengan indikasi: senyum-senyum sendiri gak peduli banyak wisudawan memperhatikan. Rasa-rasanya kalian sepakat dengan saya, dua judul itu benar-benar menarik.
Sebelum ini, saya dan Prof. Mun’im pernah diskusi jarak jauh seputar beberapa topik yang ada dalam buku beliau: “Rekonstruksi Islam Historis.” Jarak jauh karena saya di The Great Help atawa Nashrun ‘Azhim alias Tulungagung, sedang beliau di Amerika sana dengan selisih waktu yang cukup panjang. “Diskusi Jarak Jauh (DJJ)” itu istilah gegayaan bikinan saya belaka. Nyatanya, saya lebih sebagai murid yang banyak mengambil ilmu dan menyerap pengetahuan dari Prof. Mun’im yang memang luas wawasan. Meski begitu, dalam DJJ itu sesekali saya mengajukan pertanyaan, bukan dalam frame menggugat, melainkan sepenuhnya–itu tadi–dalam kerangka saya murid beliau guru.
Adapun kali ini, tentang buku ini: “Koeksistensi Islam-Kristen”, saya hanya akan menjadi semacam “juru bicara” bagi Penulis-nya. Itu pun hanya tentang dua judul tadi: “Trinitas Qur`ani” dan “Pindah Agama Demi Pacar.”
Trinitas Qur`ani
Kata-kata ini, bagi kita-kita yang awam, terlihat mengandung kontradiksi dalam dirinya sendiri. Macam mana pula ada Trinitas tapi Qur`ani, Qur`ani tapi Trinitas? Bukankah Trinitas itu salah-satu inti teologi Kristen yang tidak sejalan dengan ajaran teologis yang dijunjung Qur`an? Bukankah, antara lain dalam surah al-Ma`idah: 73, Qur`an mengkritik konsep Trinitas dan menyebut penganutnya sebagai “kafir”? Bagaimana bisa tiga mengaku satu, satu mengakui tiga?
Prof. Mun’im menjelaskan maksud Trinitas Qur`ani: “Ialah pemahaman orang Kristen tentang Trinitas yang dipengaruhi, atau disesuaikan dengan bahasa dan istilah al-Qur`an. Trintas Qur`ani tetap mengukuhkan watak tritunggal Tuhan (triune God), tetapi mengidentifikasi anggota Trinitas sebagai Allah, Kalimat, dan Ruh. Dalam al-Qur`an, dua terma terakhir dikaitkan dengan Yesus.” Dalam kata-kata yang lebih lugas, versi saya, seorang tokoh Kristen menunjuk term-term dalam al-Qur`an berkenaan dengan Yesus, dalam hal ini term “Kalimat” dan “Ruh” sebagai salah-satu argumen bahwa Trinitas itu, seperti halnya Tauhidullah dalam Islam, bukanlah syirik. Dalam surah al-Nisa: 171, titel “Kalimat” dan “Ruh” memang disematkan kepada Isa al-Masih. Baca juga QS 3: 45, QS 21: 91, dan QS 66: 12. Kata Prof. Mun’im, surah al-Nisa`: 171 paling banyak dikutip dan dikomentari oleh para penulis Kristen di Arab. Kiranya saya tidak keliru jika meyakini bahwa mereka mengutip dan mengomentari al-Nisa`: 171 itu dalam rangka mengukuhkan “ke-qur`ani-an” Trinitas.
Ketika menjelaskan bahwa Trinitas itu bukan syirik, teolog yang sangat prolifik, Yuhanna al-Dimasyqi, yang pernah menjabat kepala staf di pemerintahan khilafah Umayyah di Damaskus, menggunakan bahasa al-Qur`an secara fasih. Yuhanna menulis: “Kalian berkata bahwa Almasih itu kalimat dan ruh-Nya, lalu kenapa kalian menuduh kami musyrik?”
Kalau bergeser ke sisi Islam, sebetulnya kita dapat temukan bahwa pemahaman ortodoks Muslim pun tidak memisahkan kalimat (firman) dan ruh dari Allah. Firman dan Allah sama-sama eternal. Demikian pula ruh-Nya. Pemahaman ortodoks Muslim seperti ini tentu “menguntungkan” pihak Kristen, karena memang seperti itu ajaran inti mereka antara lain pada ayat pertama Injil Yohanes: “Pada mulanya adalah Firman. Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah.”
Sampai di sini terbersit di benak saya: “Jika Yuhanna al-Dimasyqi sedemikian rupa ‘meng-qur`ani-kan’ Trinitas lewat term-term tentang Yesus dalam al-Qur`an, bisakah hal yang sama dilakukan oleh pihak Islam? Misalnya, kita orang Islam ‘mengukuhkan’ kenabian Muhammad dengan mengutip ayat-ayat dalam Injil yang ditengarai merujuk pada sosok Muhammad.” Ini juga bisa berangkat dari surah al-A`raf: 157 yang menyatakan bahwa nama Nabi Saw. tertulis di dalam Taurat dan Injil.
Tapi, rasanya, hasilnya mudah ditebak. Seperti halnya banyak orang Islam yang pasti menolak konsep “Trinitas Qur`ani” rumusan Yuhanna al-Dimasyqi, banyak pula orang Kristen yang pasti menolak konsep (sebut saja) “Muhammad Injili” atau “Muhammad Taurati”. Orang Islam akan bilang, term “Kalimat” dan “Ruh” dalam al-Qur`an yang dinisbahkan kepada Isa al-Masih, pemahaman dan pemaknaannya jauh dari apa yang dipahami dan dimaknai oleh Yuhanna. Di lain pihak, orang Yahudi dan Kristen juga akan mengatakan bahwa sosok yang diyakini oleh orang Islam dalam Taurat dan Injil sebagai Muhammad itu sama sekali bukan mengacu pada nabi-nya orang Islam.
Tapi, seperti halnya Yuhanna al-Dimasyqi sudah berupaya sedemikian rupa “mengkompromikan” Trinitas dengan al-Qur`an sehingga melahirkan Trinitas Qur`ani, mengapa upaya yang sama tidak dicoba pula oleh tokoh-teolog Islam? Tidak harus soal kenabian Muhammad saja, melainkan bisa pula soal-soal lain terutama yang sering menjadi polemik teologis antara Islam dan Kristen. Pertama, anggap saja hal itu sebagai “kerja akademik”. Konsep “Trinitas Qur`ani” telah membuka wawasan bahwa, seperti dikatakan Prof. Mun’im, al-Qur`an bukan cuma mempengaruhi ekspresi dan tamsil dalam karya-karya teolog Kristen Arab, tapi juga menyediakan kerangka dasar untuk membangun sebuah teologi Kristen Arab yang khas. Kedua, dengan mengabaikan seperti apa respon dari masing-masing pihak terhadap “hasil kerja” pihak “lawan”-nya, kerja-kerja semacam itu pada akhirnya akan membukakan wawasan bahwa saling mempengaruhi dalam pemahaman agama bukan sesuatu yang luar biasa, meski untuk memulainya mungkin merupakan sesuatu yang luar biasa.
Tapi memang, membincang hal-hal seperti ini mungkin tidak akan ada habisnya. Dalam hal Trinitas, misalnya, saya membayangkan para teolog Kristen berusaha begitu rupa untuk menegaskan bahwa Trinitas itu monotheis, bukan syirik. “Trinitas Qur`ani” mungkin hanya salah satu rumusan atau konsepsi teologis di kalangan Kristen untuk meyakinkan bahwa Trinitas itu “baik-baik” saja; bukan syirik seperti diyakini banyak orang Islam. Sementara itu, di internal Islam sendiri, perdebatan “sengit” di antara para teolognya tidak kurang-kurang. Dalam hal relasi antara Zat dan Sifat Tuhan, sebagai contoh, aliran Muktazilah berseberangan cukup tajam dengan kelompok Asy’ariyah.
—-
Sudah cukup panjang saya ngoceh soal “Trinitas Qur`ani” sejauh yang saya baca dalam buku Koeksistensi Islam-Kristen karya Prof. Mun’im. Tadinya saya juga ingin mengulas judul yang satunya yang saya baca saat Wisudaan kemarin, yakni “Pindah Agama Demi Pacar.” Tapi kapan-kapan sajalah.
Yang jelas: Pertama, buku Koeksistensi Islam-Kristen ini tidak dirancang untuk memantik polemik, tidak pula disediakan untuk bahan perdebatan. Alih-alih demikian, ia diharapkan dapat meningkatkan kesadaran akan kebersamaan. Kita, tegas Penulis-nya, perlu berikhtiar untuk berkembang bersama dalam keragaman. Kepedulian dan solidaritas kemanusiaan perlu terus ditumbuhkan. Masyarakat plural seperti Indonesia harus mensinergikan keragaman untuk perdamaian dan kemajuan bersama. Tak akan ada perdamaian di dunia tanpa koeksistensi antarumat beragama. Tak akan ada koeksistensi antarumat beragama tanpa persahabatan dan kerja sama antara Muslim dan Kristen. Tak akan ada kerja sama antara Muslim dan Kristen tanpa saling pengertian dan respek antarsesama umat manusia.
Kedua, berbagai upaya di atas sama sekali tidak mengharuskan seorang Muslim mengimani keyakinan teologis Kristen, pun sebaliknya. Yang Muslim tetap dalam keislamannya, yang Kristiani tetap dalam kekristenannya. Yang diharap adalah masing-masing memberi kontribusi bagi toleransi, perdamaian, dan pembangunan demi kemajuan bersama. Itu bukan hal mustahil. Peradaban Islam klasik dengan elok menunjukkan bagaimana Yahudi dan Kristen sama-sama bepartisipasi. Tentang hal ini baca antara lain: Islam Doktrin dan Peradaban, karya Nurcholish Madjid, terutama bagian ini: “Iman dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan (Sebuah Tinjauan Historis Singkat)”.
Ketiga, ingat kata-kata Allahyarham Gus Dur: “Tidak penting apa pun agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik buat semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu.” Tentu saja kata-kata ini bukan seruan untuk tidak beragama. Sebaliknya, ia sentilan bahwa beragama itu harus melahirkan kebaikan demi kemanusiaan.