Prof. Dr. Euis

Penulis: Prof. Dr. Euis Nurlaelawati, Guru Besar Hukum Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Program doktor merupakan program pendidikan jenjang paling akhir. Secara umum, jenjang ini semakin diminati dan dimasuki oleh para akademisi dan praktisi. Jenjang Master tidak dianggap lagi sebagai jenjang yang cukup oleh sebagian mereka. Para lulusan program Master (S2), terutama mereka yang sedang dalam karir mereka sebagai dosen, peneliti, dan praktisi (hakim, pengacara, notaris, dan lainnya; terutama belakangan ini), mendaftarkan diri mereka untuk mengambil program pendidikan jenjang doktor ini.

Program pendidikan S3 ini sebagaimana tentunya program pendidikan jenjang S1 dan S2 diambil secara sengaja, dengan niat dan tujuan yang tertanam di dalam diri para pengambilnya, yaitu meningkatkan kualitas pendidikan mereka dan menambah gelar akademik yang memang dituntut oleh lembaga dimana mereka bekerja demi meningkatkan karir dan kualitas kerja mereka. Di jenjang ini kemampuan akademik diharapkan meningkat, daya analisa menajam, dan logika berpikir semakin solid dan kuat. Selain kedalaman dan kemahiran keilmuan sesuai dengan bidang peminatan yang diperoleh dalam sesi perkuliahan (baik optional maupun obligatory), sebuah karya ilmiah yang baik dan kontributif baik secara teoretis maupun secara praktis dituntut untuk disajikan. Karya ilmiah ini akan mempertegas kepakaran para calon doktor ini.

Karya ilmiah dalam bentuk disertasi ini merupakan tantangan sekaligus core dalam penyelesaian program S3. Meskipun terdapat perbedaan kedetailan mekanisme dan ketentuan penyelesaian karya ilmiah ini, secara umum semua sekolah paska sarjana di baik dalam maupun luar negeri menuntut proses penyelesaian yang ketat; pembimbingan dengan 2 orang promotor dan, dalam proses selanjutnya, pembacaan disertasi oleh kurang lebih 4 pembaca (yang kemudian menjadi penguji). Proses atau tahapan pembacaan dan perbaikan ini tidak jarang menghabiskan bulanan dan bahkan tahunan, dan akhirnya proses secara keseluruhan menghabiskan 4 (paling pendek) sampai dengan 7 tahun. Energi, waktu dan emosi, terambil di periode tersebut. Di kasus Indonesia, persiapan dan pelaksanaan ujian pendahuluan dan tertutup, yang sebenarnya itu lebih merupakan bagian dari proses pembimbingan–sebelum menghadapi ujian promosi–,merupakan tahapan yang melelahkan. Dengan semua proses ini, ketika disertasi tersodorkan dan terpaparkan di ajang ujian promosi, berbagai rasa menyeruak.

Rasa Saya: Doktor (dan Guru Besar)

Ketika saya meraih gelar Guru Besar (GB) seseorang bertanya tentang rasa meraih GB. Saya tidak langsung menjawab. Saya malah menerawang ke saat saya meraih gelar doctor– yang pada saat itu juga pertanyaan diajukan oleh beberapa kolega tentang rasa yang saya punya setelah saya menyelesaikan sidang promosi di Utrecht. Setelah saya menarik nafas agak panjang, saya menjawab pertanyaan seseorang tersebut dengan menggabungkan dan sekaligus membandingkan rasa Doktor dan rasa Guru Besar.

‘Saya merasa terharu dan bangga bahwa saya bisa sampai pada tahap ini, meraih gelar Guru Besar. Saya bersyukur saya bisa sampai pada tahap ini. Namun, terus terang rasa ini tidak lebih indah dan tidak lebih mewah dari rasa yang muncul ketika saya meraih doktor’. Demikian, kira-kira saya menjawab sambil menerawang jauh ke ruangan yang menggetarkan di Universitas Utrecht, Belanda. Iya, gelar GB tidak dengan sengaja saya niatkan dan rencanakan untuk saya raih. Namun, tentu saya memang menapaki jalanjalan yang rupanya membawa saya pada titik GB ini. Karena jalan-jalan menuju GB itu sudah ada, saya kemudian mengupayakan pengajuannya—diawali pengajuan ke senat fakultas, dilanjutkan ke senat universitas dimana penilaian oleh reviewer dan kemudian pengesahan oleh tim senat harus dilakukan, diteruskan ke Kemenag, dan kemudian disampaikan ke Direktorat Perguruan Tinggi untuk dinilai dan disetujui, dan dikeluarkan Surat Keputusan Menteri.

Sedikit berbagi tentang jalan menuju GB, ada beberapa kesempatan dan hal baik yang saya punya untuk bisa berada di jalan-jalan ke arah perolehan GB itu. Pertama adalah buku yang terbit dari disertasi saya yang ternyata banyak dibaca oleh kalangan akademisi hukum. Melalui buku ini–yang saya sebenarnya tidak dengan gamblang memamerkannya dan tetapi ternyata dikenal dan dilihat oleh banyak kalangan yang relevan dengan bidang hukum–saya diundang ke beberapa universitas dalam dan luar negeri, termasuk Singapore di 2007, Malaysia di 2010 dan kemudian 2012, Australia (Melbourne) di 2012, Jepang di 2013 (Nanzan) dan di 2014 (Nagoya), Belanda (Nijmegen) di 2014, untuk mempresentasiikan isi buku dan untuk menjadi pembahas di kegiatan seminar. Dari undangan tersebut saya mempunyai jaringan baru, jaringan Jepang, Australia, dan Belanda. Dari kegiatan-kegiatan akademik dengan jaringan inilah beberapa karya ilmiah muncul dalam bentuk artikel di buku dan artikel di jurnal. Kedua adalah beberapa projek kajian yang dibawa dan ditawarkan oleh kolega-kolega di jaringan yang sudah saya miliki tersebut. Projek-projek kajian ini tentunya juga memperluas jaringan saya yang kemudian membawa saya terlibat di beberapa konfrensi dan seminar di luar negeri baik di sebelum pengajuan GB di ujung 2016 dan sebelum pengukuhan di 2018, seperti, Maroko, Mesir, dan Nagoya, maupun setelah pengajuan GB, seperti Meksiko, Oxford, Fukuoka, Beirut, Singapura, Malaysia, Belanda, dan lainnya. Dari projek-projek kajian dan kegiatan-kegiatan seminar ini beberapa karya tulis ilmiah juga lahir. Ketiga adalah koneksi yang terus terjaga antara saya dengan para professor di Belanda, terutama profesor pembimbing disertasi. Koneksi ini membawa kebaikan akademik yang sangat nyata. Selain di projek penelitian, di kegiatan seminar dan konfrens yang mereka gagas dan selenggarakan saya juga beberapa kali dilibatkan. Selain lahirnya beberapa karya ilmiah, koneksi ini memberi saya motivasi untuk terus berada di jalur akademik. Keempat adalah dukungan keluarga, terutama suami yang, seperti pada raihan gelar doctor, memberikan motivasi dan kesempatan yang sangat luas untuk saya dapat melaksanakan tugas-tugas akademik dan projek-projek kajian yang saya miliki tersebut di atas.

Semua jalan dan kesempatan tersebut di atas saya jaga dengan komitmen, kerja keras, dan tanggung jawab. Ini tidak mudah dan tentu butuh waktu, energi, dan kesabaran. Tentu lingkungan kampus dan kolega-kolega serta tenaga kependidikan di kampus memberikan andil yang baik terhadap raihan GB tersebut.

Dalam konteks dan pengalaman saya, berbeda dengan proses untuk sampai pada gelar doktor, untuk sampai pada gelar GB ini tidak ada tuntutan keras dan beban dari diri dan dari orang lain. Tidak ada tuntutan dan beban terhadap pembimbing dan pimpinan almamater yang harus dihempaskan. Tidak ada perasaan lega yang menyeruak, karena memang tidak ada dana dan energi yang secara khusus dan sengaja dialokasikan atau dihabiskan untuk meraih GB. Sekali lagi, rasa yang muncul pada raihan GB ini karenanya lebih sederhana dari rasa yang muncul ketika gelar Doktor diraih.

Kita kembali pada raihan doktor. Pada raihan doktor berbagai rasa muncul, menyatu padu, dan sangat luar biasa. Saya mengambil program doktor di Belanda, Universitas Utrecht. Meski memahami bahwa proses, sebagaimana disinggung di atas, kurang lebih sama dengan proses penyelesaian program doktor di dalam negeri, saya merasakan bahwa penyelesaian program doktor di luar negeri sangatlah berat.

Tentu! Ketika di 2002 saya memutuskan untuk mengambil program Doktor di Belanda itu, saya mengikuti tahapan interview. Pertanyaan pemberi dana salah satunya mengarah pada kemampuan saya menjalankan program S3. Pertanyaan muncul karena dua kondisi yang saya miliki yang difahami oleh mereka dapat menghambat jalannya studi, yaitu keberadaan anak yang saya sampaikan kepada mereka akan diajak ke Belanda dan keberadaan suami di Belanda yang sedang menyelesaikan program S3. Dalam perspektif dan pemahaman umum dan tradisional tentang relasi dan hak serta kewajiban suami istri pertanyaan ini wajar. Menjawab pertanyaan apakah saya siap dan mampu menjalani studi dengan 2 keadaan tadi, saya dengan tegas menyatakan bahwa saya siap. Jawaban kesiapan saya tentu lahir dari keyakinan saya akan komitmen suami kaitannya dengan relasi dan peran kami dalam keluarga. Faktanya, memang, adalah bahwa demi berjalannya dan lancarnya studi kami, saya dan suami berbagi tugas dengan sangat ketat. Kami berdua, misalnya, merasa belum melakukan sesuatu untuk projek Doktor kami, jika kami kembali di rumah tanpa laporan bahwa calon disertasi telah berubah dari hari sebelumnya, meskipun hanya dengan satu paragraph. Ehhhmmmm…! Terkait ini saya secara terpisah juga telan menorehkannya dalam tulisan.

Nah, dengan kondisi tersebut dan factor-faktor lain, yaitu, perolehan beasiswa dalam penyelesaian program doktor ini, ijin dari pimpinan universitas untuk saya meninggalkan tugas mengajar, dan harapan-harapan dan do’a dari orang tua dan keluarga, penyelesaian studi dan raihan gelar doktor merupakan momen dimana semua rasa bercampur, yaitu, rasa bahagia, bangga, haru, lega, dan lepas. Rasa itu mengguncang seluruh diri, menghamburkan air mata, tawa, desah, dan kata. Rasa itu juga menggiring kata ‘syukur’ terucap lirih dan dalam ratusan kali. Dengan raihan ini, saya juga merasa telah bertanggung jawab, merasa telah mampu menepati janji yang memenuhi relung hati dan jiwa, terhadap pemberi dana, pembimbing, dan universitas asal. Selain itu, saya merasa bahwa saya mempunyai rasa percaya diri yang meningkat. Sebuah disertasi yang dirampungkan dan berhasil dipertahankan dan pujian serta apresiasi dari tim penguji di sidang promosi membawa kepercayaan diri yang lebih tinggi. Perlu disinggung bahwa rasa-rasa ini bukan muncul dari keyakinan bahwa gelar dan atau pendidikan doktor harus diraih oleh semua orang dan bahwa pemegang gelar doktor selalu mempunyai kapasitas keilmuan lebih dari mereka yang tidak bergelar doctor. Tidak, ini bukan urusan perbandingan, tetapi sekali lagi ini lebih merupakan urusan diri dan individu dalam konteks proses panjang menuju raihan Doktor.

Promosi dan Sebutan Doktor

Di semua perguruan tinggi yang menerapkan tahapan promosi doktor, tahapan ini merupakan tahapan
menegangkan sekaligus membahagiakan dan mengharukan. Persiapan menghadapinya dilakukan para
promovendus/venda; mempersiapkan untuk memaparkan isi disertasi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan para penguji. Saya sendiri tentu melakukan persiapan.

Di bawah bimbingan Prof. Leon Buskens dan Prof. Nico Kaptein, saya mempersiapkan penulisan disertasi
dan menyelesaikannya sampai pada promosi dalam waktu 5 tahun. Itu periode yang moderat, tidak pendek dan tidak panjang. Setelah 4 tahun saya menyelesaikan penulisan disertasi, saya pulang ke Indonesia. Selama 6 bulan saya menunggu komentar dan catatan para profesor penguji yang dikirim tidak berbarengan. Setelah semua sepakat bahwa disertasi layak dan tidak ada satupun profesor penguji berkeberatan, jadwal promosi ditetapkan. Di Desember 2007 saya mempromosikan disertasi Doktor saya di universitas Utrecht di hadapan 2 pembimbing, lima professor penguji (opponents), dan dekan Fakultas Hukum, Universitas Utrecht.

Ditemani suami tercinta, seminggu sebelum acara promosi saya sudah datang di Belanda. Saya datang lebih awal untuk mempersiapkan segalanya. Dua hari sebelum acara promosi saya menemui 2 profesor
pembimbing untuk meminta restu dan wejangan untuk kesuksesan promosi saya. Profesor pembimbing
memberikan beberapa wejangan yang sangat penting. Satu dari wejangan-wejangan tersebut merupakan wejangan yang paling penting kaitannya dengan bagaimana saya menghadapi ujian promosi ini.

Sebelumnya perlu dijelaskan bahwa promosi di Utrecht berlangsung selama 45 menit dan tidak ada
kesempatan bagi promovendus untuk menyampaikan presentasi sebelum pertanyaan dari 7 opponents
(penguji termasuk 2 pembimbing) dilayangkan. Sang profesor utama memberikan pesan bahwa promosi
adalah waktu dimana saya harus bicara. Ia bilang, ‘Euis, it is the time for you to talk after you have been tired writing’. Namun, ia juga mengingatkan saya untuk tidak berbicara terlalu panjang kecuali, katanya, untuk penanya akhir ketika saya mengathui bahwa waktu masih tersisa cukup. Dia menyampaikan, ‘…. but, please be exact and precise in responding the questions, and not to prolong your answers’. ‘You need to be aware that there are 7 opponents invited to raise questions and they came for that. So, you have to be wise in sharing the 45 minutes provided’, ia meneruskan. Wejangan ini sangat penting dan tentunya relevan dengan style dan karakter serta tujuan promosi di Universitas-universitas di Eropa kaitannya terutama dengan waktu atau lamanya proses promosi. Wejangan itu juga relevan dengan proses pembimbingan dan pemahaman para profesor yang setara dan sejalan satu sama lain kaitannya dengan inti kajian dan pendekatan yang digunakan. Juga itu relevan dengan peran promosi, yaitu sebagai ajang mempromosikan kemampuan atau keahlian promovendus/ promovenda. Itu juga relevan dengan pentingnya kajian yang memang secara substansi dan tehnis sudah dianggap selesai di mata para pembimbing dan juga para penguji (melalui proses pembacaan dan pemberian masukan yang kemudian diusahakan untuk diakomodir ke dalam disertasi). Secara pandangan dan arah analisa terdapat mungkin perbedaan di antara para penguji dan promovendus. Namun, secara logika, pendekatan, dan tujuan kajian kami telah bersepakat secara umum. Dengan kata lain, meskipun pertanyaan kritis dilayangkan oleh para penguji, secara umum mereka–apalagi kedua promotor– tidak melakukan semacam ‘pembantaian’ terhadap isi kajian berdasarkan pada pemahaman masing-masing terkait inti, pendekatan, dan tujuan kajian, seperti terkadang terjadi di ajang promosi di Indonesia.

Namun, meskipun ajang promosi benar-benar merupakan ‘promosi’ yang dilakukan oleh para penguji dan tentunya terutama pembibing, berbagai rasa (negatif) tertap saja hadir; kegelisahan, kecemasan,
kehawatiran, dan lainnya. Gelisah memikirkan pertanyaan yang akan dihadirkan, cemas akan ke-tidakmampuan menjawab, dan khawatir akan hilangnya ide dan kalimat-kalimat yang harus diluncurkan menanggapi pertanyaan. Setelah 45 menit berlalu rasa-rasa negatif di atas itu hilang dan semua berganti dengan rasa lain, yaitu kelegaan, kebahagiaan, keharuan, dan kebanggaan. Kelegaan menyeruak, ketika sang pedel menghentakan tongkat kebesarannya dengan sangat nyaring atau ketua sidang mengumumkan berakhirnya proses sidang. Rasa-rasa positif itu semakin kuat ketika ketua sidang mengumumkan kelulusan dan ketika promotor menyampaikan pidato kesan dan pesan atas proses penggarapan disertasi dan atas saya. Di sela-sela pidato itu itu dalam hati terbersit satu kalimat, ‘Ya, I have ended this difficult and horrible phase and will start a new academic phase with pride and confidence’. Tanpa bermaksud mengagungkan gelar, saya kemudian merasa bangga dan senang sekaligus malu dengan sapaan ‘doktor’ oleh professor pembimbing dan kolega di beberapa hari kemudian dan masih di beberapa bulan kemudian. ‘Hi, Doctor Euis,…., how are you? How is doctor life going’? Ha…ha…. Begitulah sapaan sederhana yang khas dengan sebutan delar ‘Doktor’ dari pembimbing, para penguji, dan para dosen yang terasa seperti mocking setelah promosi berlalu. Lagi-lagi, rasa bangga ini sangat personal dan terkait dengan diri dan tidak berbau perbandingan dengan yang lain.

Feeling You All, New Doctors!

Pernah merasakan dan mengalami proses dan tahapan sulit tersebut, saya selalu turut bahagia, bangga,
lega, terharu, menyaksikan kawan-kawan, kolega, dan mahasiwa mampu melalui proses penyelesaian
penulisan dan proses ujiannya. Keharuan akan lebih memuncak ketika saya terlibat di dalamnya sebagai
penguji dan apalagi sebagai promotor. Biasanya diam-diam air mata tak mampu dibendung ketika
pernyataan dari ketua sidang ujian bahwa gelar doktor telah sah diberikan kepada mahasiswa yang saya
bimbing dan atau yang saya uji.

Iya, sejak 2019 saya telah menjadi pronotor pertama bagi beberapa mahasiswa S3. Sebelumnya saya juga telah menjadi promotor bagi beberapa mahasiswa, tetapi saya berperan sebagai promotor kedua. Di semua momen promosi mahasiswa yang saya bimbing (Fatum Abu Bakar, Yuniati Faizah, Sri Roviana, Murdan, Nurul Ma’rifah, Halili Rais, Rohmawati, dan Iqbal Zen), keharuan selalu muncul dan air mata diam-diam berusaha mengalir. Di momen promosi Iqbal Zen di Desember 2022 ini air mata saya rupanya sulit sekali dihalau dan bahkan mempengaruhi suara ketika saya memulai menyampaikan sambutan promotor. Keharuan itu rupanya menguat ketika ibunda mas Iqbal mengucap takbir dan tasbih (lirih, tetapi jelas terdengar oleh saya) menyambut pernyataan ketua sidang dan ketika juga menyaksikan beliau menahan air mata. Untuk itu, ketika beberapa detik kemudian saya diminta menyampaikan sambutan promotor, keharuan itu memuncak dan membawa air mata mengalir dan suara menjadi parau. Iya, saya merasakan kelegaan, keharuan, kebahagiaan, kebanggaan, dan ke-lepas-an Iqbal Zen. Saya juga turut merasakan lepasnya kelelahan, kepenatan, dan kegundahan dari diri mahasiswa dan lepasnya kungkungan sebuah tanggung jawab, beban, dan komitmen.

Selamat untuk semua penyandang doktor baru! Ya…, I feel you all. So, be happy and have fun with your
new academic title! Tuk para calon, tetap semangat! Raih gelar akademik tertinggi ini dengan kedisiplinan, kerja keras, dan tanggung jawab!

Jogja, 22 Desember 202

4 thoughts on “Menjadi Doktor dan Rasanya”
  1. Terima kasih Prof,sungguh kisah sangat menginspirasi saya. Salam hormat dan sehat senantiasa serta bahagia selalu untuk Prof.Dr. Euis

  2. Setiap pencapaian pasti membawa energi positif, haru-bangga-bahagia-lepas-plong……apapun itu yang layak dan pasti adalah syukur alhamdulillah. karena sadar kesempatan tidak datang setiap saat, kesadaran akan kesempatan bahkan mungkin tidak disadari nyata oleh kita, karena -mungkin- rasa ketidakmampuan, rasa ketidakbutuhan, rasa kemalasan dan lain lain. apapun itu basicnya hanyalah senantiasa berpikir positif, berkhusnudhon, berprasangka baik. supaya mampu melahirkan energi dan aura positif. makasih kisah inspiratifnya bu euis, semoga panjang usia berkah manfaat ilmunya. aamiiiiin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *