Terlalu Banyak Buku, Terlalu Sedikit Waktu

Oleh: Fārïz Alnizär, Dosen UNUSIA Jakarta

Untuk urusan baca-membaca buku, sudah beberapa bulan belakangan saya mencoba beberapa hal. Saya bongkar pasang dan gonta-ganti strategi demi cita-cita dan misi berat: mengahapuskan kalimat berengsek yang selalu menjadi penyakit menahun saya berujud “terlalu banyak buku, terlalu sedikit waktu”. Saya ingin Keluar dari kutukan kalimat jahanam itu.

Banyak cara sudah saya coba. Pelbagai kiat sudah saya lakukan. Hasilnya? Sama saja. Malah saya sekali tempo terjerembab masuk pada fase “terlalu banyak buku, terlalu sedikit waktu, terlampau banyak berkomentar”. Fase ini sebetulnya fase paling muram yang pernah saya alami. Mungkin sebagian orang juga pernah mengalaminya, sebagaimana saya.

Pernah suatu ketika, tatkala saya diminta mengisi sebuah acara yang meskipun sudah mati-matian saya menolaknya, dengan dalih ini dan itu sekaligus pertimbangan rasa iba pada wajah-wajah panitia—percayalah bahwa wajah melas penitia adalah proposal paling ampuh—akhirnya saya harus berangkat juga. Saya berceramah. Omong soal apa yang sebetulnya telinga saya sendiri pun geli mendengarnya. Hati dan nurani saya tidak bisa menjadi wasit yang adil saat itu. Telinga saya terus seolah mengejek apa saja yang keluar dari mulut.

Pengetahuan sejumput, ide sehehai, cakrawala pengetahuan tidak lebih besar dari ukuran layar ponsel, ngomongnya berbusa-busa, lantang, membahana, menggelager seolah sedang menyampaiakan pengetahuan, ilmu dan juga mungkin kebenaran yang orang lain tidak tahu. Naïf sekali.

Saya malu. Kepada siapa? Tentu saja kepada kuping saya sendiri. Ia pendengar setia apapun saja yang keluar dari mulut saya. Ia paling tahu kosa kata apa yang acap keluar dari mulut saya. Susunan kalimat bagaimana yang sering mbrojol mak bedunduk dari bibir saya dan—tentu saja—kerangka pikiran dan pengetahuan seperti apa yang saya koar-koarkan. Di bagian terakhir inilah rasa malu sudah paripurna. Malu semalu-malunya.

Lalu bagaimana saya harus keluar dari “endemik” fase yang menjengkelkan itu. Simpel saja. Saya berpikir problem saya adalah kurang baca. Maka saya mula-mula mencoba untuk membaca sekuat tenaga. Sekali dua kali saya berhasil, saya membaca satu buku dua hari. Namun ketiga, keempat, kelima dan seterusnya tidak ada. Memang demikian. Sebab fakta tentang ketiga, keempat dan seterusnya itu tidak pernah terjadi. Saya tumbang.

Saya belum benar-benar bisa beranjak dari fase “terlalu banyak buku, terlalu sedikit waktu dan terlampau banyak berkomentar”. Saya mulai resah. Geli kepada diri sendiri. Bertanya-tanya. Bagaimana bisa omong di depan banyak orang, komentar tentang apa pun saja, sedangkan membaca buku saja tidak. Membaca buku mungkin iya, namun masalahnya yang dibaca hanya itu-itu saja.

Kebanyakan orang membaca apa pun saja yang menegaskan dan meneguhkan pikiran-pikiran mereka. Model seperti ini, sampai kiamat kurang dua hari pun tidak akan pernah bertambah kelimuannya. Seolah-olah bertambah mungkin iya. Namun, sejatinya ia mandeg. Stagnan. Tidak Bergerak. Ilmunya hanya itu-itu saja.

Tidak banyak orang yang mau membaca buku yang “tidak menegaskan dan menggarisbawahi” apa yang sudah ada di dalam batok kepalanya. Apa sebab? Karena hal ini sulitnya nauzubilla. Pembaca harus berperang sejak halaman pertama atau bahkan sejak dalam pikiran. Lelah. Letih.

Kondisi yang demikian itu percayalah tidak akan pernah terjadi jika kita membaca buku-buku yang “sejalan” dengan pengetahuan dan pikiran kita.

Maka, mulai subuh awal bulan kedua tahun ini, saya mulai membiasakan diri untuk membaca buku yang ada di rak lemari saya. Saya membaca random sesuai tanggal. Acak dan asal comot saja. Jika hari ini tanggal tujuh maka saya akan membaca buku di sap nomor tujuh, urutan ketujuh. Jika besok tanggal delapan maka saya membaca buku di sap rak nomor delapan dan urutan ke delapan. Terus dan selalu begitu.

Hasilnya? Luar biasa. Ibarat makanan, saya seolah mendapati adonan dan menu yang selalu baru.

Sekarang membaca soal filaafat, besok buku “KIAT SUKSES BERTERNAK LELE”, besoknya lagi kebetulan buku yang saya baca adalah “DETIK-DETIK MENGHADAPI CPNS”, besok besoknya saya membaca “TUNTUNAN SHALAT LENGKAP” karya ustaz Labib Mz, besok besok dan besoknya lagi saya membaca buku “DIALOG DENGAN JIN MUSLIM”.

Begitulah. Setidaknya sampai saat ini saya terus berjuang menghalau rasa malas yang menahun itu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *